“Kalo gue putus sama
dia gimana ya?” tanyaku pada Dina, sahabat yang selalu setia layaknya recycle bin setiap kali aku berkeluh
kesal.
Dina melotot tak
percaya. “Rin, elo sehat kan? Barusan ngelindur ya?” lalu ia datang dari tempat
tidurnya ke meja belajar tempatku duduk bersandar, dan buru-buru meraba
keningku.
“Nggak kok, Din. Gue
sehat.” Ucapku datar.
“Terus kenapa elo
ngomong kayak gitu?” tanyanya sekali lagi.
“Abisnya gue bingung
dengan sikapnya sekarang. Cuek banget! Gue punya pacar tapi rasanya kayak
ngejomblo. Gue rasa dia itu udah bosen sama gue, Din.”
Dina menggeleng-geleng
sambil menatapku. “Cuek gimana sih? Ya elah, nyantai aja lagi, Irin sayang.
Liat, gue yang nggak pernah diapelin sama cowok gue aja nyantai.”
“Ye, elo mah beda kasus
lagi. Elo LDR, sedangkan gue sama dia tuh satu kota. Bahkan kita satu
kelurahan, cuma beda RT, Din!”
Aku menghela napas
panjang. Mencoba menahan emosi yang membuatku jadi galau sendiri tiap kali
memikirkan dia.
Dia adalah Aryo, cowok
yang sudah hampir dua tahun ini menjalin hubungan pacaran denganku. Dulu,
rasanya dia sangat perhatian dan hampir selalu ada saat aku butuh. Dia juga
tipe cowok yang berintegritas tinggi dan setia pada pasangan. Aku percaya penuh
bahwa dia takkan pernah menyakitiku dengan menghadirkan wanita lain selain
diriku.
Dia memang bukan tipe
laki-laki yang suka menyimpan seikat bunga di balik badannya lalu memberikan
bunga itu pada wanita yang disayanginya dengan senyuman semanis mungkin. Bukan
pula laki-laki yang suka diam-diam menaruh boneka beruang di depan pintu kamar
pacarnya, dengan selipan kertas bertuliskan “I Love U” di genggaman tangan
boneka itu.
Dina sendiri pernah
mendapat kejutan indah itu dari pacarnya yang bekerja di kota lain. Tanpa memberitahu
Dina, pacarnya tiba-tiba saja muncul di kosan dengan membawa boneka panda
sebesar badannya. Tentu saja sahabatku yang cantik ini berteriak kegirangan.
Dan aku cuma bisa tersenyum kecut. Kapan
aku dikasih yang kayak gituan?
Lain cerita, aku pernah
beberapa kali memergoki teman-teman cowokku yang sibuk mengutak-atik hapenya
tanpa henti. Ternyata mereka sedang SMS-an dan BBM-an ria dengan cewek mereka.
Rata-rata nama kontak cewek itu disimpan dengan nama “bebeb”, “sayang”,
“ndutku”, atau bahasa planet apalah, hanya mereka yang mengerti. Kadang aku
iri, mereka kok bisa seromantis ini sama pacarnya. Tidak seperti Aryo, yang
hanya menyimpan nomorku di hapenya dengan nama lengkap pemberian orangtuaku.
Aku juga sering iseng
membaca timeline di jejaring sosial
teman-temanku. Isinya tak jauh-jauh dari keromantisan hubungan mereka. Mereka
saling berkomentar, berbalas-balasan tweet, dan mengaupload foto mereka berdua.
Lagi-lagi aku aku iri, andai aku dan Aryo juga semesra itu.
Selain itu, teman-teman
cowokku banyak yang memasang foto DP atau sekedar wallpaper di ponsel dengan foto pacarnya. Ada pula yang memasang
foto mereka berdua dengan gandengan tangan yang mesra. Memang sih rata-rata
pacar mereka semuanya cantik. Mereka pasti bangga punya pacar secantik itu. Jadi,
kalau Aryo tidak pernah melakukan hal yang sama dengan teman-temanku itu apakah
artinya aku tidak cukup cantik? Apakah Aryo malu mengakui aku sebagai pacarnya?
Aku memang tidak terlalu cantik. Aku berbadan mungil dan berkulit putih. Tapi aku
rasa aku juga tidak terlalu jelek.
Biasanya aku selalu
menepis pikiran-pikiran buruk itu dengan kebaikannya yang lain. Aryo pernah
sih, beberapa kali memperkenalkanku dan mengajakku pergi dengan teman-temannya.
Toh dia tidak malu mengakuiku di depan mereka. Toh, dia juga sering memanggilku
dengan sebutan sayang jika kami ngobrol secara langsung. Aku terus belajar
untuk memahami karakteristiknya, dan belajar untuk menjadi seperti dia,
meskipun terkadang masih berharap suatu saat ia akan bersikap lebih romantis
padaku.
Sekarang hubungan kami
telah menginjak tahun kedua. Sampai saat ini titik kegalauanku semakin memuncak
karena sifat acuh tak acuhnya padaku semakin menjadi-jadi. Aku sudah mencoba
untuk mengalihkan pikiranku ke hal yang lain, aku juga sudah mencoba untuk
membalas keacuhannya dengan keacuhanku juga. Tapi aku masih saja kepikiran
dengannya. Tepatnya, aku sangat merindukan dia yang dulu.
Sudah hampir dua minggu
kami tidak bertemu. Aku bingung, kemana dia dan apa kerjanya sekarang. Dengan
membuang rasa gengsi yang tinggi, aku mengajaknya pergi menemaniku membeli
sesuatu di pusat perbelanjaan. Sebenarnya itu cuma alasan, untuk dapat bertemu
dengannya. Aku menunggu dia sampai sore, apakah ia akan datang sesuai
permintaanku, ataukah tidak. Ternyata tidak. Dia sedang rapat dengan
rekan-rekannya, mengenai bisnis yang baru saja dirintisnya tahun kemarin. Tentu
saja aku tidak akan memaksa.
Okelah tidak apa, tapi
besoknya aku meminta ia menemaniku pergi ke pesta pernikahan seorang kakak
tingkat. Lokasinya memang cukup jauh, sekitar dua jam dari kota tempat kami
tinggal. Sedikit memelas, aku meminta ia menemani karena aku takut mengendarai
motor sendirian. Tapi jawabannya lagi-lagi mengecewakanku. Katanya besok dia
ada jadwal mengajukan proposal bisnisnya itu pada sebuah perusahaan. Dan waktu
pengajuan proposal itu cuma besok karena temannya cuma ada waktu libur besok.
Aku terdiam. Akhirnya aku mengendarai motor dengan jarak yang cukup jauh itu
sendirian.
***
(bersambung)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar