Seminggu berikutnya, kegalauan itu datang
kembali.
Aryo lagi-lagi susah
untuk ditemui. Terakhir kali aku mengajak dia makan bareng kemarin, tiba-tiba
dia bilang sedang berada di luar kota. Separah
ini kah kita sekarang? hingga aku pun tak tahu lagi apa yang sedang terjadi
padamu, bisikku dalam hati.
Apa dia lupa bahwa
wanita juga butuh perhatian? Perhatian yang sesungguhnya, bukan hanya kata-kata
gombal tanpa bukti nyata. Sedikit saja. Sedikit saja beri apa yang tak pernah aku
pinta. Beri aku perhatian, sayang. Ah, sudahlah. Aku tidak mau lagi
merengek-rengek seperti seminggu yang lalu untuk meminta perhatian dari dia.
Aku tidak mau perhatian karena iba seperti itu. Aku butuh orang yang tulus, memberiku
apa yang tak perlu aku pinta.
Hampir saja aku lupa
bahwa besok adalah anniversary kami
yang kedua. Berarti genap sudah dua tahun aku menjalani hubungan dengan Aryo.
Sepertinya itu sudah cukup. Aku tak ingin berlarut-larut menanti laki-laki yang
lebih sering mengacuhkanku daripada memperhatikanku. Aku sudah letih seperti
ini. Aku menyerah. Aku ingin mengakhirinya bila kami bertemu hari esok.
***
Esoknya.
Aku sudah mengirimkan
pesan pada Aryo agar datang ke kosanku hari ini. Dan untungnya kali ini ia
dapat meluangkan waktunya walau hanya sebentar.
“Hai,” sapanya, lalu
tersenyum manis padaku.
Aku membalasnya dengan
senyum juga. Senyum yang masam.
Lalu kami berdua duduk
di teras kosanku yang luas dan lengang. Tak ada orang lain disana kecuali kami
berdua.
“Udah makan?” tanyanya
pelan.
Aku mengangguk. Bohong.
Padahal aku belum makan dan sama sekali tidak ada nafsu makan.
Hening sebentar. Ia
beralih memainkan keypad ponselnya,
sepertinya sedang membalas SMS yang barusan masuk. Wajahnya serius sekali
memperhatikan SMS itu.
Sementara itu, aku
masih sibuk mencari kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan dengannya. Bahwa
aku ingin mengakhiri hubungan yang sudah berjalan selama dua tahun ini. Bilang aku menyerah denganmu aja, sekarang, bisik
suara-suara yang ada di sekitar otakku.
Yak, sekarang!
“Sayang,” panggilnya
padaku. “Tau nggak, tadi aku ketemu klien yang rese banget. Pusing aku
gara-gara dia. Ini barusan dia sms aku lagi.”
“Oh ya?” tanggapku
sekenanya. Aku masih bingung bagaimana mengatakan hal yang satu itu padanya.
“Kamu itu pikirannya cuma untuk bisnis ya?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur
dari bibirku.
Ia kemudian memandangi
wajahku sambil tersenyum. “Kita itu tiga tahun lagi sayang. Ingat kan?”
ucapnya.
Memang, dulu waktu awal
pacaran kami pernah berbincang tentang pernikahan. Aku berkata akan menikah
pada umur 25 tahun. Ia juga akan menikahiku saat umurnya 25 tahun. Kebetulan
kami seumuran, tapi ia kuliah dua tahun lebih cepat dari pada aku. Dan umur 25
tahun itu tinggal tiga tahun lagi.
“Iya, inget. Terus
kenapa?”
“Kita harus segera
mempersiapkan diri, sayang. Kamu tahu sendiri kan, kalo aku baru aja lulus
kuliah. Bisnisku pun masih seumur jagung. Aku belum punya tabungan apa-apa
untuk modal menikah nanti.”
Aku tertegun
mendengarnya. Ia masih ingin menikah
denganku? Gumamku dalam hati.
“Aku takut, sayang. Aku
takut mengalami hal yang sama dengan temanku.” Aryo melanjutkan perkataannya.
“Kenapa dengan
temanmu?”
“Temanku itu cowok. Ia
ditinggal nikah sama pacarnya gara-gara belum mapan. Sementara pacarnya itu
sudah bekerja dan mendesak ingin segera menikah. Akhirnya ia memilih menikah
dengan laki-laki lain yang hidupnya sudah mapan. Dan aku nggak mau itu kejadian
sama aku. Makanya aku harus bekerja keras sekarang biar bisa menikahi kamu
secepatnya,” terangnya padaku. Yang tak kusangka-sangka, ia tiba-tiba mengecup
lembut keningku. Sekujur tubuhku yang tadinya dingin membeku, tiba-tiba
menjalar sebentuk kehangatan. Aku hanya bisa terpaku, tak tahu apa yang
selanjutnya harus kulakukan.
Ia melanjutkan kalimatnya
lagi seolah tanpa ujung. “Untung aja sekarang kamu masih semester enam. Belum
terdesak untuk menikah. Hehehe.” Ia tertawa kecil. Diusapnya keningku sambil
merapikan poniku yang berserakan.
Lagi-lagi aku hanya
menanggapinya dengan senyuman. Sesungguhnya dadaku berdesir hebat dibuatnya.
“Makanya aku
akhir-akhir ini suka susah ditemui. Aku juga sering keluar kota bersama rekan
bisnisku. Jadi kamu jangan suka galau ya karena aku. Percaya aja, kita bakalan
sama-sama terus kok sampai nikah nanti. Kita harus move-on sayang. Kita nggak bisa berleha-leha terus, berjam-jam
pacaran nggak jelas kayak dulu. Kita harus belajar jadi si professional yang
menghargai waktu sebaik-baiknya. Nggak hanya buat aku, kamu juga harus
menghargai waktu dengan hal-hal yang berguna, sayang. Katanya kamu mau jadi
penulis. Daripada galau, mending kamu lanjutin tulisan-tulisanmu itu. Ya kan?”
Oh
my god. Aku baru sadar bahwa aku tidak bisa memutuskannya,
karena aku amat mencintainya!
Aryo mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah note
book yang lucu dengan cover
feminim kesukaanku. “Happy anniversary,
sayang.” Ucapnya sambil menyerahkan note
book itu padaku. “Ini buat calon penulis hebat, biar dia bisa menuliskan
apa aja yang dia rasakan di dalam sini. Dan…buat kita, aku berdoa semoga kita
selalu bersama dalam menggapai cita-cita dan cinta kita. Amin.”
Spontan aku memeluk note book itu. Bulir air mataku menetes karena
tak kuasa menahan haru. Aku ingin memeluk tubuhnya sekarang.
Yak, sekarang!
“Makasih ya, sayang.
Aku nggak nyangka ternyata kamu sangat menyayangiku. Selama ini aku cuma
mengeluhkan kamu, kamu gini lah, kamu gitu lah. Aku kira kamu sudah bosan
bersamaku. Ternyata aku salah.” Tanpa sadar aku telah membasahi kemejanya
dengan air mataku yang melimpah ruah.
Mulai sekarang aku yang
harus mengoreksi diri. Selama ini aku selalu menuntutnya. Padahal aku sendiri
masih banyak kekurangan, dan ia tak pernah menuntutku ini itu. Harusnya aku mensupportnya agar giat bekerja, bukannya
menghalanginya dengan rengekan manja. Aku berjanji akan belajar menjadi wanita
yang pantas berjalan disampingnya dan hidup berdampingan dengannya selamanya.
Selesai.
Cerpen ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan berarti penulisnya terinspirasi dari kisah nyata. haha!
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar