Besoknya lagi, aku
masih berharap ia akan menemuiku. Setidaknya meminta maaf karena terlalu sok
sibuk akhir-akhir ini. Aku sempat senang karena ternyata siang-siang bolong
begini ia menelponku.
“Halo sayang,” sapanya padaku
di telpon.
“Iya halo juga,”
jawabku.
“Kamu lagi ngapain?
Dimana?”
“Aku lagi di kosan aja.
Kenapa?” jawabku lagi. Tiap dia bertanya seperti itu, aku memang biasanya
menjawab lagi di kosan. Siapa tahu dia mau datang menemuiku. Walaupun
kenyataannya pertanyaan itu Cuma basa-basi.
“Nggak apa-apa. Siang
ini panas banget ya. Apa akunya aja yang belum terbiasa dengan kosan baru ini
ya?” celotehnya. Tuh kan, cuma basa-basi.
“Nggg, iya kali.”
“Btw ayo sini, nyobain
kosan baruku.”
“Kamu dulu yang kesini,
baru aku mau kesitu. Gimana? Mau?”
“Hmmm. Kamu udah ke
supermarketnya kemarin?”
“Udah.” Jawabku
singkat. Dongkol, bukannya jawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik.
“Yah, nggak
bilang-bilang. Aku kan mau beli pasta gigi. Punyaku udah habis soalnya.”
“Lha kamu diajakin
gitu, sibuk terus.”
“Tuh kan. Sewot.”
Celetuknya.
“Lha emang iya kan,
kamu sibuk terus? Atau cuma males aja pergi sama aku?”
“Kok gitu sih sayang.
Aku kemarin itu memang bener-bener nggak bisa.”
Aku diam cukup lama. Di
satu sisi ingin menumpahkan segala rasa kesal ini padanya, dan di sisi lain aku
tidak ingin berkata apa-apa lagi padanya.
“Tau nggak, aku tuh
kangen banget sama kamu, sama perhatian kamu yang dulu.” Ucapku akhirnya,
setelah tertahan cukup lama di tenggorokan.
“Aku juga kangen kamu
kok.”
“Tapi kenapa kamu nggak
punya lagi waktu buat aku?? nggak pernah ngajakin aku jalan. Seenggaknya kalo
kamu nggak punya waktu banyak, kamu bisa ngajakin aku makan. Kalo kamu lagi
nggak punya uang, seenggaknya kamu bisa datang dan sekedar ngobrol bareng aku.
Seenggaknya ka…”
“Sssssttt…. Jangan
ngomong kayak gitu, sayang.”
“Kamu udah nggak butuh
aku lagi? Udah bosen ketemu sama aku?” cercahku diikuti emosi yang kian memuncak.
“Nggak sayang. Jangan
suka mikir aneh-aneh kayak gitu dong.”
“Ulangtahunku dua
minggu yang lalu aja kamu lupa kan? Aku sudah menunggu sampai jam 12 malam,
berharap kau yang pertama kali mengucapkan selamat ulangtahun. Tapi nyatanya,
kamu baru menelponku besok siangnya. Dan kau tidak menyiapkan kado apa-apa
untukku. Apa aku sudah segitu nggak pentingnya buat kamu?”
“Kalo soal itu maaf,
aku memang salah karena telat ngucapin. Soal kado, aku bingung mau beliin kamu
apaan. Kamu tau sendiri kan, aku tuh paling payah kalo soal ngasih kado? Kayak
waktu adikku ulangtahun yang ke-19 kemarin, aku malah membelikannya tas boneka
kayak anak SD.”
“Oke lah. Terus kenapa
kamu nggak mau datang ke kosanku?”
“Abisnya kamu
desak-desak aku gitu sih. Orangtua aku aja kalo nyuruh-nyuruh kayak gitu aku
males ngelakuinnya. Aku tuh lebih suka melakukan sesuatu atas keinginanku
sendiri, nggak di suruh-suruh, apalagi dipaksa-paksa.”
DEGG. Sakit rasanya
mendengarnya. “J-jadi, kamu nggak mau datang kesini? Aku bukannya nyuruh, tapi
ngajakin. Kamu diajakin aja nggak mau, apalagi nggak diajakin?? Mungkin kamu
nggak akan pernah lagi datang nemuin aku disini.” Aku tak dapat lagi membendung
tangisku. Aku bergeming dalam waktu yang lama, dengan air mata yang mengalir
menganak sungai. Sesekali aku terisak. Kurasa ia mendengarnya. Dasar cengeng. Tapi
aku tak peduli lagi.
“Ya udah, gimana kalo
nanti malam kita berwisata kuliner aja?” ia berusaha menenangkanku. Mungkin ia
iba karena aku sudah mulai menangis.
Aku masih tidak
menjawab. Isakan tangis cengengku terasa makin kencang.
“Ayolah sayang?”
panggilnya dengan nada lembut. “Mau kan?”
“Iya. Mau.” Jawabku
akhirnya.
***
Malam itu berjalan
seperti biasa. Kami makan nasi goreng Padang yang terkenal lezatnya di kota
ini, dengan obrolan ringan dan candaannya yang membuatku tertawa juga jengkel. Gaya
bicara dan gaya bercandanya masih seperti Aryo yang kukenal selama ini. Aku
jadi lega. Semuanya berjalan baik, seakan-akan kejadian di telpon tadi siang
tidak pernah terjadi.
***
(bersambung)
(bersambung)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar