Kini
jalur yang kami lewati kembali terjal. Namun debunya tidak sebanyak tadi. Justru yang banyak kini bebatuan dengan ukuran besar. Sesekali kami berhenti lalu bersandar
di batu berukuran besar untuk menenggak sedikit air minum. Di antara istirahat kami
juga melihat gemerlap lampu di perkampungan penduduk. Di sebelah barat kami
melihat lampu yang lebih banyak di jarak yang lebih jauh. Mungkinkah itu kota Mataram?
“Ayo,
udah dua menit.” Ujar Bagas sambil melihat jam tangan. Ia berdiri dengan sigap
untuk melanjutkan perjalanan.
“Bentar
lagi. Nyantai dong, kenapa sih kamu selalu terburu-buru?” protesku.
Ia
diam saja dan kembali duduk di sampingku.
“Hei, Bagas!” teriak pendaki yang kepalanya baru nongol dari balik tanjakan. Rupanya
itu Adji, Mas Wandas dan Mas Zaenal.
“Kalian
di belakang rupanya?” tanya Bagas.
“Iya,
kami nggak tergesa-gesa kok.” Jawab Mas Zaenal.
“Mau?’
Mas Wandas menawari kami sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Aku menolak
karena aku juga sudah membawa bekal cokelatku sendiri.
“Gimana,
masih semangat kan? Santai aja, nggak usah terburu-buru.” Ujar Mas Wandas lagi
padaku.
“Aku
nggak mau ketinggalan sunrise di puncak, bro. Yuk, lanjut.” Ujar Bagas.
Kemudian
ia kembali berjalan, meninggalkan kami berempat yang masih duduk di batu
sebesar almari. Ia berjalan perlahan karena cahaya headlampnya sangat redup.
Tak
lama kemudian aku juga melanjutkan perjalanan. Mereka bertiga ikut-ikutan
melanjutkan perjalanan.
“Hati-hati,
Cila.” Mas Wandas sok perhatian. Lalu ia mencoba memegang tanganku seakan-akan aku anak
kecil yang baru belajar berjalan.
“Nggak
usah dipegang, mas. Aku bisa jalan sendiri kok.” Tegasku.
“Eaaakk,
Wandas mulai curi-curi kesempatan nih.” Adji tertawa-tawa.
“Kan
mumpung si Bagas nggak liat, ya nggak dek Cila?” jawab Mas Wandas, kemudian ia
berusaha merangkul pundakku.
Entah
bercanda entah serius, tapi aku sangat risih diperlakukan seperti itu. Aku
langsung menepis tangannya dan berlari menyusul Bagas yang sudah berjalan
lebih dulu dari kami.
“Bagas!”
aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak menoleh. Ia terus melangkah maju
seakan tak mendengar apa-apa.
“Bagas!”
aku masih memanggilnya sambil berlari.
Saat
aku hampir mendekatinya, ia menoleh ke belakang. “Kamu kenapa lari?” tanyanya
polos.
“Aku
manggil-manggil kamu nggak denger?” tanyaku balik dengan nafas ngos-ngosan. “Kamu tuh
kenapa sih nggak bisa jalan pelan sedikit? Asal kamu tahu aja, tiap nggak ada
kamu, Mas Wandas itu selalu cari-cari kesempatan. Tadi aja dia mau rangkul aku.
makanya aku langsung lari-lari manggil kamu. Bisa nggak sih aku minta tolong
kamu buat jagain aku, di gunung ini aja? Nggak bisa?”
Bagas terdiam sesaat dengan wajah tenangnya yang seperti biasa. Lalu ia menoleh ke belakang, dimana terdapat Mas Wandas dan yang lain sedang berjalan
beriringan. “Masa sih dia begitu?” tanya Bagas tak percaya.
“Iya,
dia itu genit asal kamu tahu.”
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO