Jumat, 19 Desember 2014

Dia Yang Selalu Dingin dan Tenang

0 komentar

Kini jalur yang kami lewati kembali terjal. Namun debunya tidak sebanyak tadi. Justru yang banyak kini bebatuan dengan ukuran besar. Sesekali kami berhenti lalu bersandar di batu berukuran besar untuk menenggak sedikit air minum. Di antara istirahat kami juga melihat gemerlap lampu di perkampungan penduduk. Di sebelah barat kami melihat lampu yang lebih banyak di jarak yang lebih jauh. Mungkinkah itu kota Mataram?
“Ayo, udah dua menit.” Ujar Bagas sambil melihat jam tangan. Ia berdiri dengan sigap untuk melanjutkan perjalanan.
“Bentar lagi. Nyantai dong, kenapa sih kamu selalu terburu-buru?” protesku.
Ia diam saja dan kembali duduk di sampingku.
“Hei, Bagas!” teriak pendaki yang kepalanya baru nongol dari balik tanjakan. Rupanya itu Adji, Mas Wandas dan Mas Zaenal.
“Kalian di belakang rupanya?” tanya Bagas.
“Iya, kami nggak tergesa-gesa kok.” Jawab Mas Zaenal.
“Mau?’ Mas Wandas menawari kami sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Aku menolak karena aku juga sudah membawa bekal cokelatku sendiri.
“Gimana, masih semangat kan? Santai aja, nggak usah terburu-buru.” Ujar Mas Wandas lagi padaku.
“Aku nggak mau ketinggalan sunrise di puncak, bro. Yuk, lanjut.” Ujar Bagas.
Kemudian ia kembali berjalan, meninggalkan kami berempat yang masih duduk di batu sebesar almari. Ia berjalan perlahan karena cahaya headlampnya sangat redup.
Tak lama kemudian aku juga melanjutkan perjalanan. Mereka bertiga ikut-ikutan melanjutkan perjalanan.
“Hati-hati, Cila.” Mas Wandas sok perhatian. Lalu ia mencoba memegang tanganku seakan-akan aku anak kecil yang baru belajar berjalan.
“Nggak usah dipegang, mas. Aku bisa jalan sendiri kok.” Tegasku.
“Eaaakk, Wandas mulai curi-curi kesempatan nih.” Adji tertawa-tawa.
“Kan mumpung si Bagas nggak liat, ya nggak dek Cila?” jawab Mas Wandas, kemudian ia berusaha merangkul pundakku.
Entah bercanda entah serius, tapi aku sangat risih diperlakukan seperti itu. Aku langsung menepis tangannya dan berlari menyusul Bagas yang sudah berjalan lebih dulu dari kami.
“Bagas!” aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak menoleh. Ia terus melangkah maju seakan tak mendengar apa-apa.
“Bagas!” aku masih memanggilnya sambil berlari.
Saat aku hampir mendekatinya, ia menoleh ke belakang. “Kamu kenapa lari?” tanyanya polos.
“Aku manggil-manggil kamu nggak denger?” tanyaku balik dengan nafas ngos-ngosan. “Kamu tuh kenapa sih nggak bisa jalan pelan sedikit? Asal kamu tahu aja, tiap nggak ada kamu, Mas Wandas itu selalu cari-cari kesempatan. Tadi aja dia mau rangkul aku. makanya aku langsung lari-lari manggil kamu. Bisa nggak sih aku minta tolong kamu buat jagain aku, di gunung ini aja? Nggak bisa?”
Bagas terdiam sesaat dengan wajah tenangnya yang seperti biasa. Lalu ia menoleh ke belakang, dimana terdapat Mas Wandas dan yang lain sedang berjalan beriringan. “Masa sih dia begitu?” tanya Bagas tak percaya.
“Iya, dia itu genit asal kamu tahu.”
“Ya sudah, aku jalan di belakangmu aja.” Akhirnya Bagas mengalah. Ia mempersilahkanku berjalan lebih dahulu dan mengimbangi irama langkah kakiku yang pelan.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO