Senin, 22 September 2014

Ciye, Ada Yang Cemburu, Ciyeee....

0 komentar
“Bro, jangan kedip, bro,” ujar Adji tiba-tiba.
“Wuihh…” Mas Wandas pun nimbrung. “Beautiful!”
Mata mereka semua tertuju pada satu orang pendaki bule yang baru saja sampai ke pos 3. Namun ia dan rombongannya tidak beristirahat dulu seperti kami. Mereka terus melangkahkan kaki menuju Tujuh Bukit Penyesalan. Bule itu adalah perempuan muda yang cantik dan seksi. Ia memakai tanktop dan celana pendek yang simple. Namun kesimpelan pakaiannya itu membuat auratnya terlihat oleh orang lain. Pantas saja semua laki-laki tidak berkedip melihatnya.
Tak terkecuali dengan Bagas. Sementara Bagas melihat pada rombongan bule itu, aku justru menatap tajam pada Bagas. Masih dibuat kesal dengan perdebatan kami tadi, sekarang dia menambah kadar kekesalanku lagi.
“Lihat, pantas saja kita selalu tertinggal sama negara lain.” Ujar Bagas setelah rombongan bule itu lenyap ditelan rimbunnya pepohonan. “Langkah kakinya saja dua kali lebih cepat dari langkah kaki kita. Kita jangan mau kalah sama mereka.”
Aku membuang muka darinya. Ciih, nggak tahu apa orang lagi kesal? Kini aku berpura-pura sibuk membereskan barang.
“Kura-kura bawa berkat. Berangkaaat!!” seru Bagas. Ia mengangkat carrier 80 liternya lalu mulai melangkah.
Para cowok tengil yang lain masih bersuit-suit dari kejauhan.
“Wah, Bagas mau ngejer si bule nih!” Adji memberi komentar. “Ayo, Gas, kejar!”
“Bagas, tungguin yang lain kenapa sih?” aku protes.
Tapi Bagas tidak menghentikan langkahnya. Ia hanya menoleh pada kami dan berkata “AYO!” Mas Zaenal pun menyusul di belakangnya.
“Bagas??!!!” suaraku meninggi.
“Ada yang cemburu, ciyeee…” Mas Reza menyindirku, diiringi oleh tawa Anjar dan yang lainnya.
“Nggak kok, aku nggak cemburu. Nggak mungkin juga bule itu mau.” Aku membela diri.
“Eh, jangan salah. Bule itu lebih suka sama cowok Indonesia daripada jenis mereka sendiri. Lebih eksotis menurut mereka.” Mas Efri ikut-ikutan jadi kompor.
Ggrrrrhhhh….. ini cowok-cowok bukannya nyiram aku pake air, malah makin mengobarkan api kejengkelan.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Jumat, 19 September 2014

Ada Yang Kena Ranjau!

0 komentar
Awal pendakian yang cukup menyenangkan. Kontur tanah di taman nasional ini sangat landai sehingga kami tidak merasa seperti sedang naik gunung. Hanya sekedar berwisata melihat pemandangan indah di pagi hari nan sejuk. Padang sabana membentang luas dibawah kaki gunung Rinjani, dan tak jauh dari jalur perjalanan kami ada banyak kawanan sapi yang sedang memamah rumput. Kalau belum diberi kesempatan jalan-jalan ke luar negeri, tempat ini bisa jadi alternatif karena pemandangannya tidak jauh beda dengan pemandangan di New Zealand.
"Oh, jadi ini penghuni kandang-kandang sapi yang kita lihat di bawah tadi?" Ujarku kala melihat kawanan sapi tersebut. Mendengar bunyi langkah kaki kami yang lumayan mengganggu, sapi-sapi itu menghentikan aktifitasnya. Lalu mereka pindah ke tempat yang lebih jauh dari kami. Sepertinya mereka takut.
“Yahh, baru mau difoto udah kabur!” ujar Bagas. Ia mengutak-atik kameranya lalu ditunjukkan padaku. “Lihat!”
Aku pun terbahak-bahak melihat foto hasil jepretannya. Dari ujung kiri sampai ujung kanan yang terlihat hanya pantat-pantat sapi berwarna putih mencling!
“Aaaaaaaaaaggghhhhh….!!!!!!!!!!!!” Teriak Mas Wandas dari kejauhan. Dia memang sudah berjalan lebih dulu dari kami bersama Mas Zaenal dan Adji.
Kami pun segera berlari menyusul karena panik mendengar teriakannya. Apakah dia digigit ular? Atau kalajengking dan sebagainya?
“Kenapa? Kenapa?” tanya kami berbarengan.
Adji tertawa tebahak-bahak. “Ada yang terinjak ranjau!’ soraknya sambil bergelinjangan.
Raut muka Mas Wandas berubah menjadi sangat menyedihkan. Ia membersihkan sepatunya dari segumpalan telepong. Bukan, telepong itu bukan alat untuk berkomunikasi jarak jauh. Telepong itu adalah bahasa Jawanya kotoran sapi.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 15 September 2014

Persaingan 2 Pulau Kakak Beradik

0 komentar
Oh ya, pak. Kalo kuliner khas Lombok itu apa aja sih?” sekarang giliranku yang bertanya. Membuka topik obrolan yang berbeda.
“Banyak, dek. Kalo makanannya ada ayam taliwang, plecing kangkung, ares, sate bulayak, dan masih banyak lagi. Sedangkan minuman yang terkenal disini ‘brem’.”
“Brem? Bukannya itu makanan khas Jawa?” tanyaku lagi.
“Iya, ya. Penganan dari tape ketan yang bentuknya batangan itu kan?” sambung Bagas.
“Oh, bukan. Itu beda lagi. Kalo brem disini bentuknya cair. Tapi bahannya ya tapai ketan juga. Minuman fermentasi, begitulah dek.” Jawab Pak Iwan.
“Wah, berarti memabukkan ya, pak?”
“Iya, memabukkan. Minumnya sedikit-sedikit saja. Satu gelas arak saja bisa buat orang teleng.”
“Oh, kalo itu saya juga pernah dengar. Bukannya itu minuman dari Bali ya, pak?” Mas Efri angkat bicara.
Pak Zul tergelak. “Iya, orang-orang luar taunya brem itu minuman khas Bali ya. Sebenarnya itu khas Lombok, dek.” Ujar Pak Zulkarnain. “Memang Lombok kalah pamor dibanding Bali. Orang-orang luar taunya yaa Bali, Bali dan Bali.”
Aroma persaingan tercium dari dua pulau berdampingan ini.
“Lha, Lombok juga mulai dilirik orang-orang untuk berwisata lho, pak. Lihat saja di televisi, hampir setiap acara traveling pasti pernah memamerkan keindahan Lombok.”
 “Tetap saja. Tidak sedikit wisatawan yang melakukan perjalanan darat dari puau Jawa singgah ke Bali kemudian ke Lombok. Nah, saat di Bali itu lah biasanya mereka disetting mindsetnya untuk menjelekkan citra Lombok. Salah satunya dengan cara menurunkan harga suatu makanan, kemudian mengatakan bahwa nanti di Lombok harga makanan tersebut lebih mahal.”
“Ah, masa begitu sih, pak?”

Pak Zul tergelak lagi. “Yah, walaupun tidak sepenuhnya begitu sih. Oh ya, ada yang tahu kendi yang terbuat dari kayu, bagian dasarnya bolong tapi kalau diisi air tidak tumpah? Itu juga banyak ditemukan di Bali. Padahal sebenarnya itu kerajinan khas Lombok.”


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 08 September 2014

Surga di Selat Lombok

1 komentar
Pukul empat pagi, kami tiba di pelabuhan Padang Bai yang berada di ujung timur Pulau Bali. Suasana masih sepi, tapi tidak menyurutkan semangat para penjaja makanan untuk mencari nafkah. Baru saja kami berjalan turun dari bis, salah seorang lelaki penjual nasi bungkus menyapa kami dengan logat Bali yang kental.
“Nasi, Bli? Perjalanan ke Lombok jauh, empat jam lebih. Nanti tidak ada yang jualan di kapal.” Ia merayu kami untuk membeli dagangannya.
Awalnya kami tidak menggubris. Karena itu ia merayu kami lebih giat lagi. “Murah saja, lima ribu rupiah satu bungkusnya.”
Lumayan murah tuh, batinku. Sebagai spesialis keuangan, aku membisikkan pada teman-teman untuk membeli nasi bungkus ini. Harganya lumayan murah untuk mengganjal perut di pagi hari.
Teman-teman setuju untuk membeli. Tapi Mas Efri tampak khawatir. “Lauknya apa, bli?” tanya Mas Efri. Mengingat di Bali lumayan sulit menemukan makanan halal bagi umat muslim seperti kami. Jadi kami harus sedikit lebih waspada.
“Ayam dan telur suwiran, bli,” jawabnya. Lalu lelaki itu membuka satu bungkusan untuk diperlihatkan pada kami yang tampak sedikit khawatir. Dan terlihatlah segenggam nasi putih, dengan lauk ayam dan telur yang disuwir bersama sedikit cabai dan kacang tanah.
Karena kejujuran lelaki itu, kami semua mengangguk setuju. Aku mengambil dompet uang kas dari dalam carrier dan mengambil uang sejumlah Rp. 40.000,-. Selain itu, aku juga mengeluarkan uang lagi sebesar Rp. 320.000,- untuk membeli tiket kapal ferri menuju pelabuhan Lembar Lombok. Untuk naik kapal ferri ini kami dikenakan Rp. 40.000,- perorang.
Kalau dek kapal ferri dari pelabuhan Ketapang Banyuwangi yang kami tumpangi tadi terasa lapang karena tidak banyak penumpang, berbeda dengan dek kapal ferri yang satu ini. Penumpangnya membludak sehingga kami tidak kebagian tempat duduk di dalam.
Akhirnya kami berdelapan duduk di luar dek. Tapi ada untungnya juga sih, kami jadi bisa melihat pemandangan matahari terbit di selat Lombok. Semburat kuning keemasan yang dipancarkan oleh matahari juga dipantulkan oleh pegunungan yang berjajar di Pulau Bali. Tak terkecuali dengan Gunung Agung. Gunung beraura mistik kebanggaan warga Bali itu tampak berkilauan ketika memantulkan warna keeemas matahari pagi.
“Lihat!” ujar Bagas dan Mas Zaenal dengan mata yang tertuju ke titik yang sama di lautan.
Aku pun sontak melihat titik itu. Rupanya itu segerombolan lumba-lumba yang sedang berenang. Lumba-lumba itu beraksi bagai tuan rumah yang sedang menyambut kedatangan tamu-tamunya, dan berkata “Welcome to paradise!

Satu kata saja: AWESOME.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Selasa, 02 September 2014

Sumpah Yang Diingkari

0 komentar
Siangnya, Bagas menelponku lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya ia menelponku, dan aku tak berniat sedikitpun untuk menjawabnya.
“Ci, ada telpon kok nggak dijawab?” tegur mama yang mendengar ponselku berbunyi dari tadi.
“Biarin aja, ma. Lagi males.” Aku menjawab dengan cuek.
“Kenapa? Lagi ngambek sama Bagas?” tanya mama dengan tingkat kekepoan sekecamatan. “Inget, kalo kalian berniat menjalani hubungan yang serius, nggak boleh mem…”
“Besar-besarkan masalah kecil.” Aku menyambung kalimat mama. Kalimat ini sudah kuhapal diluar kepala karena sudah menjadi kalimat andalan mama saat menasehatiku.
Drrrt drrrt… kini ponselku bergetar tanda ada BBM masuk.
“Ci, angkat telponku dong.”  Aku membaca kalimat yang masuk di BBM.
Bagas lagi, Bagas lagi. Dengar, aku masih tidak berniat untuk membalasnya.
“Kita perlu refresh hubungan kita.” Lanjut Bagas di BBM.
Refresh? Hubungan? Apa maksudnya? Kini aku bertanya-tanya dalam hati.
Tak lama kemudian ringtone panggilan masuk berbunyi lagi di ponselku. Siapa lagi kalau bukan Bagas? Namun kali ini aku ragu, panggilannya diangkat atau tidak ya? Aku penasaran dengan kalimat terakhirnya di BBM tadi.
Kata hatiku mengatakan bahwa aku harus mengangkat telpon darinya. Akhirnya aku menekan pelan tombol answer. Aaagghh, aku melanggar sumpahku sendiri!


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO