Jumat, 19 Desember 2014

Dia Yang Selalu Dingin dan Tenang

0 komentar

Kini jalur yang kami lewati kembali terjal. Namun debunya tidak sebanyak tadi. Justru yang banyak kini bebatuan dengan ukuran besar. Sesekali kami berhenti lalu bersandar di batu berukuran besar untuk menenggak sedikit air minum. Di antara istirahat kami juga melihat gemerlap lampu di perkampungan penduduk. Di sebelah barat kami melihat lampu yang lebih banyak di jarak yang lebih jauh. Mungkinkah itu kota Mataram?
“Ayo, udah dua menit.” Ujar Bagas sambil melihat jam tangan. Ia berdiri dengan sigap untuk melanjutkan perjalanan.
“Bentar lagi. Nyantai dong, kenapa sih kamu selalu terburu-buru?” protesku.
Ia diam saja dan kembali duduk di sampingku.
“Hei, Bagas!” teriak pendaki yang kepalanya baru nongol dari balik tanjakan. Rupanya itu Adji, Mas Wandas dan Mas Zaenal.
“Kalian di belakang rupanya?” tanya Bagas.
“Iya, kami nggak tergesa-gesa kok.” Jawab Mas Zaenal.
“Mau?’ Mas Wandas menawari kami sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Aku menolak karena aku juga sudah membawa bekal cokelatku sendiri.
“Gimana, masih semangat kan? Santai aja, nggak usah terburu-buru.” Ujar Mas Wandas lagi padaku.
“Aku nggak mau ketinggalan sunrise di puncak, bro. Yuk, lanjut.” Ujar Bagas.
Kemudian ia kembali berjalan, meninggalkan kami berempat yang masih duduk di batu sebesar almari. Ia berjalan perlahan karena cahaya headlampnya sangat redup.
Tak lama kemudian aku juga melanjutkan perjalanan. Mereka bertiga ikut-ikutan melanjutkan perjalanan.
“Hati-hati, Cila.” Mas Wandas sok perhatian. Lalu ia mencoba memegang tanganku seakan-akan aku anak kecil yang baru belajar berjalan.
“Nggak usah dipegang, mas. Aku bisa jalan sendiri kok.” Tegasku.
“Eaaakk, Wandas mulai curi-curi kesempatan nih.” Adji tertawa-tawa.
“Kan mumpung si Bagas nggak liat, ya nggak dek Cila?” jawab Mas Wandas, kemudian ia berusaha merangkul pundakku.
Entah bercanda entah serius, tapi aku sangat risih diperlakukan seperti itu. Aku langsung menepis tangannya dan berlari menyusul Bagas yang sudah berjalan lebih dulu dari kami.
“Bagas!” aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak menoleh. Ia terus melangkah maju seakan tak mendengar apa-apa.
“Bagas!” aku masih memanggilnya sambil berlari.
Saat aku hampir mendekatinya, ia menoleh ke belakang. “Kamu kenapa lari?” tanyanya polos.
“Aku manggil-manggil kamu nggak denger?” tanyaku balik dengan nafas ngos-ngosan. “Kamu tuh kenapa sih nggak bisa jalan pelan sedikit? Asal kamu tahu aja, tiap nggak ada kamu, Mas Wandas itu selalu cari-cari kesempatan. Tadi aja dia mau rangkul aku. makanya aku langsung lari-lari manggil kamu. Bisa nggak sih aku minta tolong kamu buat jagain aku, di gunung ini aja? Nggak bisa?”
Bagas terdiam sesaat dengan wajah tenangnya yang seperti biasa. Lalu ia menoleh ke belakang, dimana terdapat Mas Wandas dan yang lain sedang berjalan beriringan. “Masa sih dia begitu?” tanya Bagas tak percaya.
“Iya, dia itu genit asal kamu tahu.”
“Ya sudah, aku jalan di belakangmu aja.” Akhirnya Bagas mengalah. Ia mempersilahkanku berjalan lebih dahulu dan mengimbangi irama langkah kakiku yang pelan.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kamis, 30 Oktober 2014

Toko Online 'Backpackeren Indonesia'

0 komentar
Hai semua. Kini aku sudah punya toko online sendiri lho, yang menyediakan berbagai perlengkapan outdoor. Buat teman-teman yang doyan naik gunung ataupun backpackeran, bisa kunjungi website kami di www.pongker.com
Kami menyediakan sepatu, jaket, tas, carrier, sleeping bag, jam tangan, kompor portable, nesting, dan masih banyak lagi dengan harga yang terjangkau. Sooo.... tunggu apa lagi? let's check it out!


Salam Lestari!



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Rabu, 22 Oktober 2014

Pak Porter, Profesimu Bertaruh Nyawa!

0 komentar
sumber: http://www.qimisummit.com/

Bukit demi bukit kami lewati dengan penuh perjuangan. Peluh membanjir hampir di setiap bagian tubuh, bercampur dengan material debu yang mengepul tiap kaki ini menapak.
“Plawangan masih jauh, pak?” aku bertanya pada seorang porter yang kebetulan sedang mendaki mengantar turis asing.
“Sebentar lagi juga sampai, dek.” Jawabnya. “Side olek mbe’?”
“Hah, apa, pak?” aku dan yang lain mengernyitkan dahi.
Si bapak porter tertawa. “Oh, saya kira dari Lombok saja. Maksud saya tadi, kamu darimana?”
“Dari Jawa, pak. Ada yang Semarang, Brebes, Jogja…”
“Oh, ya sudah mari kita melanjutkan perjalanan. Sedikit lagi sampai kok. Ini sudah bukit ke-4. Tinggal 3 bukit lagi.” Ajak bapak itu dengan bersemangat. Ia melanjutkan langkah kakinya yang lebar mengikuti langkah turis asing di depannya.

Aku memandang dengan takjub sekaligus heran. Apa dia tidak merasa lelah setiap hari naik turun Rinjani? Lihat, ia hanya memakai celana kain tipis, kaos oblong dan sandal jepit sebagai alas kaki. Jauh dari kata safety yang mutlak wajib bagi para pendaki. Ia hanya memikul dua keranjang yang berisi bahan makanan dan beberapa sleeping bag. Tiba-tiba aku jadi mengkhawatirkan mereka. Tapi aku juga mengkhawatirkan diri sendiri apakah aku bisa melanjutkan pendakian ini. Tungkai kakiku gemetaran menopang tubuh dan carrier yang kubawa. Harusnya aku bisa minta tolong Bagas untuk membawakan carrierku juga. Anyway, sudah sampai dimana itu bocah? Sudah berleha-leha di Plawangan bersama bule seksi tadi kah? Agh!


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Rabu, 08 Oktober 2014

I WANNA LIVE FOREVER WITH THIS FAMILY

0 komentar















Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 22 September 2014

Ciye, Ada Yang Cemburu, Ciyeee....

0 komentar
“Bro, jangan kedip, bro,” ujar Adji tiba-tiba.
“Wuihh…” Mas Wandas pun nimbrung. “Beautiful!”
Mata mereka semua tertuju pada satu orang pendaki bule yang baru saja sampai ke pos 3. Namun ia dan rombongannya tidak beristirahat dulu seperti kami. Mereka terus melangkahkan kaki menuju Tujuh Bukit Penyesalan. Bule itu adalah perempuan muda yang cantik dan seksi. Ia memakai tanktop dan celana pendek yang simple. Namun kesimpelan pakaiannya itu membuat auratnya terlihat oleh orang lain. Pantas saja semua laki-laki tidak berkedip melihatnya.
Tak terkecuali dengan Bagas. Sementara Bagas melihat pada rombongan bule itu, aku justru menatap tajam pada Bagas. Masih dibuat kesal dengan perdebatan kami tadi, sekarang dia menambah kadar kekesalanku lagi.
“Lihat, pantas saja kita selalu tertinggal sama negara lain.” Ujar Bagas setelah rombongan bule itu lenyap ditelan rimbunnya pepohonan. “Langkah kakinya saja dua kali lebih cepat dari langkah kaki kita. Kita jangan mau kalah sama mereka.”
Aku membuang muka darinya. Ciih, nggak tahu apa orang lagi kesal? Kini aku berpura-pura sibuk membereskan barang.
“Kura-kura bawa berkat. Berangkaaat!!” seru Bagas. Ia mengangkat carrier 80 liternya lalu mulai melangkah.
Para cowok tengil yang lain masih bersuit-suit dari kejauhan.
“Wah, Bagas mau ngejer si bule nih!” Adji memberi komentar. “Ayo, Gas, kejar!”
“Bagas, tungguin yang lain kenapa sih?” aku protes.
Tapi Bagas tidak menghentikan langkahnya. Ia hanya menoleh pada kami dan berkata “AYO!” Mas Zaenal pun menyusul di belakangnya.
“Bagas??!!!” suaraku meninggi.
“Ada yang cemburu, ciyeee…” Mas Reza menyindirku, diiringi oleh tawa Anjar dan yang lainnya.
“Nggak kok, aku nggak cemburu. Nggak mungkin juga bule itu mau.” Aku membela diri.
“Eh, jangan salah. Bule itu lebih suka sama cowok Indonesia daripada jenis mereka sendiri. Lebih eksotis menurut mereka.” Mas Efri ikut-ikutan jadi kompor.
Ggrrrrhhhh….. ini cowok-cowok bukannya nyiram aku pake air, malah makin mengobarkan api kejengkelan.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Jumat, 19 September 2014

Ada Yang Kena Ranjau!

0 komentar
Awal pendakian yang cukup menyenangkan. Kontur tanah di taman nasional ini sangat landai sehingga kami tidak merasa seperti sedang naik gunung. Hanya sekedar berwisata melihat pemandangan indah di pagi hari nan sejuk. Padang sabana membentang luas dibawah kaki gunung Rinjani, dan tak jauh dari jalur perjalanan kami ada banyak kawanan sapi yang sedang memamah rumput. Kalau belum diberi kesempatan jalan-jalan ke luar negeri, tempat ini bisa jadi alternatif karena pemandangannya tidak jauh beda dengan pemandangan di New Zealand.
"Oh, jadi ini penghuni kandang-kandang sapi yang kita lihat di bawah tadi?" Ujarku kala melihat kawanan sapi tersebut. Mendengar bunyi langkah kaki kami yang lumayan mengganggu, sapi-sapi itu menghentikan aktifitasnya. Lalu mereka pindah ke tempat yang lebih jauh dari kami. Sepertinya mereka takut.
“Yahh, baru mau difoto udah kabur!” ujar Bagas. Ia mengutak-atik kameranya lalu ditunjukkan padaku. “Lihat!”
Aku pun terbahak-bahak melihat foto hasil jepretannya. Dari ujung kiri sampai ujung kanan yang terlihat hanya pantat-pantat sapi berwarna putih mencling!
“Aaaaaaaaaaggghhhhh….!!!!!!!!!!!!” Teriak Mas Wandas dari kejauhan. Dia memang sudah berjalan lebih dulu dari kami bersama Mas Zaenal dan Adji.
Kami pun segera berlari menyusul karena panik mendengar teriakannya. Apakah dia digigit ular? Atau kalajengking dan sebagainya?
“Kenapa? Kenapa?” tanya kami berbarengan.
Adji tertawa tebahak-bahak. “Ada yang terinjak ranjau!’ soraknya sambil bergelinjangan.
Raut muka Mas Wandas berubah menjadi sangat menyedihkan. Ia membersihkan sepatunya dari segumpalan telepong. Bukan, telepong itu bukan alat untuk berkomunikasi jarak jauh. Telepong itu adalah bahasa Jawanya kotoran sapi.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 15 September 2014

Persaingan 2 Pulau Kakak Beradik

0 komentar
Oh ya, pak. Kalo kuliner khas Lombok itu apa aja sih?” sekarang giliranku yang bertanya. Membuka topik obrolan yang berbeda.
“Banyak, dek. Kalo makanannya ada ayam taliwang, plecing kangkung, ares, sate bulayak, dan masih banyak lagi. Sedangkan minuman yang terkenal disini ‘brem’.”
“Brem? Bukannya itu makanan khas Jawa?” tanyaku lagi.
“Iya, ya. Penganan dari tape ketan yang bentuknya batangan itu kan?” sambung Bagas.
“Oh, bukan. Itu beda lagi. Kalo brem disini bentuknya cair. Tapi bahannya ya tapai ketan juga. Minuman fermentasi, begitulah dek.” Jawab Pak Iwan.
“Wah, berarti memabukkan ya, pak?”
“Iya, memabukkan. Minumnya sedikit-sedikit saja. Satu gelas arak saja bisa buat orang teleng.”
“Oh, kalo itu saya juga pernah dengar. Bukannya itu minuman dari Bali ya, pak?” Mas Efri angkat bicara.
Pak Zul tergelak. “Iya, orang-orang luar taunya brem itu minuman khas Bali ya. Sebenarnya itu khas Lombok, dek.” Ujar Pak Zulkarnain. “Memang Lombok kalah pamor dibanding Bali. Orang-orang luar taunya yaa Bali, Bali dan Bali.”
Aroma persaingan tercium dari dua pulau berdampingan ini.
“Lha, Lombok juga mulai dilirik orang-orang untuk berwisata lho, pak. Lihat saja di televisi, hampir setiap acara traveling pasti pernah memamerkan keindahan Lombok.”
 “Tetap saja. Tidak sedikit wisatawan yang melakukan perjalanan darat dari puau Jawa singgah ke Bali kemudian ke Lombok. Nah, saat di Bali itu lah biasanya mereka disetting mindsetnya untuk menjelekkan citra Lombok. Salah satunya dengan cara menurunkan harga suatu makanan, kemudian mengatakan bahwa nanti di Lombok harga makanan tersebut lebih mahal.”
“Ah, masa begitu sih, pak?”

Pak Zul tergelak lagi. “Yah, walaupun tidak sepenuhnya begitu sih. Oh ya, ada yang tahu kendi yang terbuat dari kayu, bagian dasarnya bolong tapi kalau diisi air tidak tumpah? Itu juga banyak ditemukan di Bali. Padahal sebenarnya itu kerajinan khas Lombok.”


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 08 September 2014

Surga di Selat Lombok

1 komentar
Pukul empat pagi, kami tiba di pelabuhan Padang Bai yang berada di ujung timur Pulau Bali. Suasana masih sepi, tapi tidak menyurutkan semangat para penjaja makanan untuk mencari nafkah. Baru saja kami berjalan turun dari bis, salah seorang lelaki penjual nasi bungkus menyapa kami dengan logat Bali yang kental.
“Nasi, Bli? Perjalanan ke Lombok jauh, empat jam lebih. Nanti tidak ada yang jualan di kapal.” Ia merayu kami untuk membeli dagangannya.
Awalnya kami tidak menggubris. Karena itu ia merayu kami lebih giat lagi. “Murah saja, lima ribu rupiah satu bungkusnya.”
Lumayan murah tuh, batinku. Sebagai spesialis keuangan, aku membisikkan pada teman-teman untuk membeli nasi bungkus ini. Harganya lumayan murah untuk mengganjal perut di pagi hari.
Teman-teman setuju untuk membeli. Tapi Mas Efri tampak khawatir. “Lauknya apa, bli?” tanya Mas Efri. Mengingat di Bali lumayan sulit menemukan makanan halal bagi umat muslim seperti kami. Jadi kami harus sedikit lebih waspada.
“Ayam dan telur suwiran, bli,” jawabnya. Lalu lelaki itu membuka satu bungkusan untuk diperlihatkan pada kami yang tampak sedikit khawatir. Dan terlihatlah segenggam nasi putih, dengan lauk ayam dan telur yang disuwir bersama sedikit cabai dan kacang tanah.
Karena kejujuran lelaki itu, kami semua mengangguk setuju. Aku mengambil dompet uang kas dari dalam carrier dan mengambil uang sejumlah Rp. 40.000,-. Selain itu, aku juga mengeluarkan uang lagi sebesar Rp. 320.000,- untuk membeli tiket kapal ferri menuju pelabuhan Lembar Lombok. Untuk naik kapal ferri ini kami dikenakan Rp. 40.000,- perorang.
Kalau dek kapal ferri dari pelabuhan Ketapang Banyuwangi yang kami tumpangi tadi terasa lapang karena tidak banyak penumpang, berbeda dengan dek kapal ferri yang satu ini. Penumpangnya membludak sehingga kami tidak kebagian tempat duduk di dalam.
Akhirnya kami berdelapan duduk di luar dek. Tapi ada untungnya juga sih, kami jadi bisa melihat pemandangan matahari terbit di selat Lombok. Semburat kuning keemasan yang dipancarkan oleh matahari juga dipantulkan oleh pegunungan yang berjajar di Pulau Bali. Tak terkecuali dengan Gunung Agung. Gunung beraura mistik kebanggaan warga Bali itu tampak berkilauan ketika memantulkan warna keeemas matahari pagi.
“Lihat!” ujar Bagas dan Mas Zaenal dengan mata yang tertuju ke titik yang sama di lautan.
Aku pun sontak melihat titik itu. Rupanya itu segerombolan lumba-lumba yang sedang berenang. Lumba-lumba itu beraksi bagai tuan rumah yang sedang menyambut kedatangan tamu-tamunya, dan berkata “Welcome to paradise!

Satu kata saja: AWESOME.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Selasa, 02 September 2014

Sumpah Yang Diingkari

0 komentar
Siangnya, Bagas menelponku lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya ia menelponku, dan aku tak berniat sedikitpun untuk menjawabnya.
“Ci, ada telpon kok nggak dijawab?” tegur mama yang mendengar ponselku berbunyi dari tadi.
“Biarin aja, ma. Lagi males.” Aku menjawab dengan cuek.
“Kenapa? Lagi ngambek sama Bagas?” tanya mama dengan tingkat kekepoan sekecamatan. “Inget, kalo kalian berniat menjalani hubungan yang serius, nggak boleh mem…”
“Besar-besarkan masalah kecil.” Aku menyambung kalimat mama. Kalimat ini sudah kuhapal diluar kepala karena sudah menjadi kalimat andalan mama saat menasehatiku.
Drrrt drrrt… kini ponselku bergetar tanda ada BBM masuk.
“Ci, angkat telponku dong.”  Aku membaca kalimat yang masuk di BBM.
Bagas lagi, Bagas lagi. Dengar, aku masih tidak berniat untuk membalasnya.
“Kita perlu refresh hubungan kita.” Lanjut Bagas di BBM.
Refresh? Hubungan? Apa maksudnya? Kini aku bertanya-tanya dalam hati.
Tak lama kemudian ringtone panggilan masuk berbunyi lagi di ponselku. Siapa lagi kalau bukan Bagas? Namun kali ini aku ragu, panggilannya diangkat atau tidak ya? Aku penasaran dengan kalimat terakhirnya di BBM tadi.
Kata hatiku mengatakan bahwa aku harus mengangkat telpon darinya. Akhirnya aku menekan pelan tombol answer. Aaagghh, aku melanggar sumpahku sendiri!


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Jumat, 15 Agustus 2014

Sungai Musi, Persahabatan dan Cinta (2)

0 komentar
Satu menit, dua menit, tiga menit...
Menit demi menit pun berlalu. Kami berdua masih terdiam di tempat yang sama. Dengan latar perahu yang bersandar di tepi dermaga, dan anak-anak kecil yang sibuk menceburkan diri ke sungai berulang kali.
"What's on your mind, girl?" tanyanya kemudian.
Aku menoleh padanya. Seulas senyum pun kini tertoreh di wajahnya kala kami bertatapan. Senyum yang sama saat pertama kali aku bertemu dengannya 10 tahun yang lalu.Waktu itu aku baru kelas 5 SD, dan dia kelas 6 SD. Aku diajak papa dan mama untuk bertamu ke rumahnya, tepatnya rumah orangtuanya yang tak jauh dari rumah nenekku. Waktu itu ia sedang bermain dengan saudara-saudaranya, dengan sekali-kali mencuri pandangan dan tersenyum ke arahku. Aahh... apa aku cuma kegeeran waktu itu? Yang jelas senyum itulah yang membuatku kemudian ingin megenalnya lebih dekat. Dan keinginan itu pun terwujud karena sepupuku yang menangkap basah kami sering mencuri pandang berinisiatif untuk mengenalkan aku dengannya.
"Rea?" ia menyebut namaku saat melewati rumah nenek dan aku sedang berada di teras. Saat itu kami sedang bersiap-siap untuk pulang ke Bengkulu. Dan aku menangis meninggalkannya...

"Rea? Rea?" panggilnya, membuyarkan lamunanku.
Oh My Gosh! aku terlalu lama melamun. "Iya kenapa?"
"Kamu kenapa sih, ngelamun terus?"
"Nggak apa-apa." Aku cuma sedikit mengingat pertemuan kita pertama kali dulu, sambungku dalam hati. Hebat juga cowok satu ini, berhasil membuatku lupa dengan kenangan pahit yang tadinya memaksa untuk dikenang. 
"Coba liat deh, mbak yang itu," tunjuknya pada seorang perempuan muda berrambut panjang yang duduk tak jauh dari kami. "Kayaknya dia naksir aku deh. Dia ngeliatin aku terus!"
"What?! mana mungkin?" aku terbelalak. Kupandangi wajahnya dari berbagai posisi, wajah yang oval, kulit sawo matang, mata sipit, hidung mancung, senyum yang manis...
"Mana mungkin dia suka sama cowok jelek kayak kamu?" komentarku kemudian.
"Hahahaha. Aku kan tampan?"
Aku memasang tampang mau muntah.

"Becanda, becanda." sambungnya lagi. "Sebenarnya aku lagi mikirin sesuatu." Wajah maskulin itu berubah serius.
"Apa?"
"Kamu pernah ngerasa kesepian nggak?"
"Pernah, dulu waktu papa dan mama pergi ke Jakarta sementara aku harus tinggal di rumah berdua dengan si mbak."
"Berapa bulan?"
"Tiga hari."
"Kamu bisa bayangin nggak aku yang ditinggal ibuku selamanya, dan ayah yang jarang pulang ke rumah karena menikah lagi dengan wanita lain di Linggau sana. Dan aku harus kesepian di rumah setiap hari."
Tiba-tiba aku jadi tak enak padanya. "I'm sorry to hear that..."
"Nggak apa-apa, Rea. Aku cuma mau sedikit berbagi denganmu, jadi kamu cukup mendengarkan ceritaku aja."
Aku mengangguk sambil sedikit mengusap pundaknya. "Siap, bos!"
"Kamu lihat sendiri kan, rumahku sekarang? Sepi, hampa, seperti nggak ada kehidupan. Beda banget sama rumahku yang dulu, waktu pertama kali kamu datang sama orangtuamu. Sekarang aku sama seperti rumah itu. Sepi, hampa, nggak keurus, nggak ada kasih sayang lagi dari keluarga." Ia menghela nafas. "See, aku tumbuh dewasa sendiri, tanpa didikan dari keluarga. Mengurus semuanya sendiri, menafkahi diri sendiri mulai dari membantu tukang nasi goreng berjualan, sampai akhirnya berwirausaha sendiri."
"Jujur aku nggak nyangka keluargamu yang dulu tampak harmonis sekarang jadi begini." ujarku. "Terus adikmu dimana sekarang?"
"Tinggal di Linggau sama ayah."
"Lho, kenapa kamu nggak ikut sama mereka aja?"
"Aku?" ia menunjuk dadanya. "Ikut? najis."
"Kok najis sih?"
"Sejak saat itu aku bertengkar terus dengan ayahku. Aku benci dia, bahkan hingga kini."
"Tapi kan, bagaimanapun juga dia itu ayah kamu?"
Ia menatapku lagi, sambil tersenyum. Namun kali ini ia merangkul pundakku. "Ssssttt... Makasih ya udah mau dengerin aku."

Kini, sudah 4 tahun aku tidak bertemu lagi dengan sahabatku yang satu ini. Aku mendapat kabar bahwa ayahnya sudah meninggalkannya jauh, lebih jauh dari sekedar kota Linggau. Ayahnya berpulang ke pangkuan tuhan. Dibalik semua keceriaan yang ia tampilkan pada orang banyak, ia juga memendam kesedihan dan kebencian yang dalam. Aku mengagumi sosok itu. Sosok yang keras kepala, namun pekerja keras dan memiliki hati yang tegar.

#TravelFiction


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kamis, 14 Agustus 2014

Sungai Musi, Persahabatan dan Cinta

0 komentar
"Nanti kalo masing-masing dari kita sudah berkeluarga, jangan lupa saling kirim kabar," ujarnya ketika kami melewati stadion, tak jauh dari mall Palembang Square.
Aku mengangguk setuju. "Iya dong, kita kan SAHABAT."
"Kalo bisa nanti kita jodohin aja anak kita. Gimana?" sambungnya dengan wajah jenaka.
"Gimana ya? Kita liat nanti, kalo istri kamu cantik ya bolehlaah." jawabku asal.
Ia menoyor pipiku gemas. "Sialan!"
Cowok ini cerewet sekali, batinku.
"Karena jarang-jarang ke Palembang, kamu bakal aku traktir deh. Mau makan apa aja, dimana aja, terserah," ia nyerocos lagi.
"Yang bener?" aku menyikut lengannya rese. Senyum malaikatku berubah menjadi senyum iblis. Huahahaha...
Hari itu kami jalan-jalan mengelilingi kota pempek, dimana tanahnya terbelah dua oleh adanya sungai Musi.
Kami mencicipi semua kuliner yang menurutnyaa paling enak disini. Martabak Har, sate padang, dan pempek tentunya. Kami juga jalan-jalan ke toko buku, pusat perbelanjaan, sampai ke counter hape. Untuk apa? tentu saja belanja. 
Sampai akhirnya kami tiba di keramaian pasar yang terletak di tepi sungai Musi. Wow, kawasan ini makin ramai saja. Terakhir kali aku datang 3 tahun yang lalu, pasar 16 tak serapi ini. Penataan taman, lampu-lampu di jembatan Ampera, dan tulisan-tulisan persuasif tentang Kota Palembang juga sudah semakin indah.
"Kamu sudah pernah belum masuk ke benteng Kuto Besak?" tanyanya ketika kami berjalan santai menuju tepi sungai. Tak jauh dari sana terdapat sebuah benteng yang menjadi salah satu landmark kota Palembang. Benteng Kuto Besak. Bangunan kuno itu berdiri kokoh ditepi sungai Musi, tak jauh dari tempat bersandarnya perahu-perahu getek yang melengkapi keramaian Sungai Musi.
"Belum, tapi aku kurang tertarik masuk kesana."
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Aku lebih suka jalan-jalan ke tempat yang alami. Seperti sungai, hutan, gunung, pulau kecil."
"Kalo gitu kita ke Pulau Kemaro yuk?" Iya menarik tanganku, mendekati perahu-perahu yang sedang bersandar.
"Jangan sekarang lah. Nggak seru kalo kita berdua doang," tolakku. Sebenarnya itu alibiku saja untuk menolak. Aku sudah pernah kesana dengan seseorang. 
Dulu... 
Dulu sekali...
Pulau Kemaro itu adalah sebuah daratan kecil yang terbentuk dari endapan tanah  lumpur di tengah-tengah sungai Musi. Sejak zaman dahulu, tempat ini telah dipergunakan oleh pemeluk agama Kong Hu Cu untuk beribadah. Mereka membangun pagoda yang tinggi, patung-patung simbol khas Cina, dan bangunan kuil yang indah untuk beribadah. Namun kini tempat itu bukan lagi hanya sekedar tempat beribadah, melainkan sudah menjadi temat wisata masyarakat umum. Untuk menuju kesana, kita harus menyewa perahu getek atau speedboat dengan waktu perjalanan 10-20 menit. 
Dulu aku pernah kesana, dengan seseorang yang pernah sangat kusukai. Tapi suatu kali ia menjauhiku dan hilang tanpa kabar berita. Sejak itulah semua kenangan yang ada di Pulau kecil itu ingin kulenyapkan dalam memori otakku.
Kini kami duduk di tepi dermaga, menghadap ke sebuah perahu berukuran lumayan besar. Dan menatap pada beberapa anak kecil yang dengan riangnya melompat dari dermaga ke dalam air, berenang, kemudian naik, dan melakukan hal yang sama berulang kali.
Aku diam, dia pun diam. Dan kenangan itu memaksaku kembali untuk mengingatnya...

#Travelfiction
Bersambung...


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Selasa, 12 Agustus 2014

Coming Soon

0 komentar
“Sayang, kamu berubah dong. Ayahku udah ngasih ultimatum nih.” Ucap Lyn bersungguh-sungguh.
Sementara Asta, menjawabnya asal-asalan saja. “Berubah gimana sih? berubah jadi power ranger gitu?” tanyanya balik.
“Ya, kamu harus berubah. Kuliahnya yang bener, jangan males-malesan kayak gini terus. Kemarin ayahku bilang, kalo kamu nggak nyelesain kuliahmu tepat waktu, aku harus putus hubungan sama kamu. Serem kan?”
“Memangnya kenapa harus tepat waktu?”
“Bayangin aja deh. Sebentar lagi aku lulus, dengan masa studi 3,5 tahun.  Setelah itu ayahku sudah menyiapkan pekerjaan dan posisi yang bagus untukku di perusahaannya. Otomatis aku sudah berpenghasilan sendiri kan. Nah, sementara calon suami aku, yaitu kamu, malah masih kuliah terkatung-katung dan keteteran kayak gini. Dan yang pastinya belum punya penghasilan. Ayahku tidak akan merestui hubungan kita, sayang.”
Asta terdiam. Telinga sekaligus hatinya panas mendengar ucapan Lyn barusan. Dia tidak dapat membayangkan apa jadinya bila ia nekat berterus terang untuk berhenti kuliah pada kekasih hatinya ini.
“Kalau kamu mau aku bisa kerja sekarang juga, tanpa harus mengandalkan gelar sarjana S1! Lagian aku juga sudah berpendapatan sendiri walaupun jumlahnya kecil!” emosi Asta mencuat. Heran, punya pacar bukannya meringankan beban, malah membuat Asta tambah tertekan.
“Y-yaaa… nggak gitu juga, Asta. Aku cuma memperingatkan kamu. Aku cuma takut hubungan kita terancam.” Seketika air muka Lyn berubah. Yang tadinya merekah kini menciut lesu. “Pendapatanmu dari menulis cerpen dan artikel itu kan cuma bisa buat memenuhi kebutuhan jajan dan update gadget doang. Mana bisa menghidupi keluarga kalo kita nikah nanti.”

(Triangle, my coming soon novel)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Cuplikan Novel Nocturnal

0 komentar
“Sayang…” bisik Aryo tiba-tiba.
“Iyaaa… aku tau kok kamu sayang sama aku.” Jawabku seenak udel.
Aku mengamati tangan Aryo bergerak maju, akan segera menoyor kepalaku. Aku dengan sigap menangkisnya.
“Wuuu… Bukan begitu, bayi. Aku mau Tanya sesuatu sama kamu. Tapi… kamu jangan marah ya?”
Aku tertegun. Dia mau Tanya apa? serius amat mukanya, tanyaku dalam hati.
Aku mengangguk dan membuat garis senyum semanis mungkin.
Dia mengusap-usap kepalaku. “Kamu… nggak ada yang lain kan… selain aku?”
Aku memasang tampang penuh tanda tanya.
“Kalo misalnya aku nggak ada nanti, kamu janji ya jangan nakal,” ucapnya lagi.
“Memangnya kamu… mau kemana?” tanyaku heran.
“Aku…keterima kerja di sebuah perusahaan dan pertambangan nikel di Sulawesi.”
“Haaah??” aku tebelalak. “Kamu kan belum wisuda, kok udah kerja segala? Jauh banget lagi.”
Ia masih mengelus-elus rambutku dengan lembut. “Magang sih, tapi digaji, bay. Udah susah-susah ikut tes, lolos, gajinya juga lumayan, masa aku sia-siain gitu aja. Kan lumayan juga nabung buat modal wirausaha nantinya.”
Aku menangguk-angguk, sok ngerti, padahal nggak. “Kontraknya berapa lama?”
“Enam bulan, sayang. Nggak apa-apa kan?”
Untuk kedua kalinya bola mataku membelalak, “Enam bulan? Enam bulan?? Enam bulan???” tanyaku berulang kali,  tak yakin dengan ucapan Aryo barusan.
“Iya, sayang. Insya Allah berangkatnya awal bulan depan.”
“Awal bulan depan itu kan tiga minggu lagi? Itu kan jadwal ekspedisiku sayang.” Aku mengingat intensitas bertemu kami yang semakin berkurang karena kesibukanku di nocturnal. Belum lagi dia mau pergi jauh untuk kurun waktu yang lama. Belum lagi saat-saat terakhir sebelum dia berangkat nanti aku semakin harus disibukkan dengan kegiatan pra ekspedisi, dan dia mungkin akan berangkat saat aku sedang berada di atas gunung Lawu. Sial, segini berkorbannya aku demi mendapat identitas sebagai anggota nocturnal.
Aku menarik nafas panjang dalam-dalam, lalu menghembuskannya hati-hati. “Kamu hati-hati ya disana nanti, jaga diri baik-baik. I’m very proud of you.” Ucapku akhirnya.
Mata Aryo berbinar seperti bintang kejora. “Makasih sayang. Aku juga bangga punya kamu. Kamu juga harus janji ya, jaga diri baik-baik buat aku. Walaupun umur jadian kita masih cupu banget, kita harus buktiin kalo cinta kita itu hebat. Kita harus bertahan walaupun kita jauh. Kita jangan mau kalah sama jarak. Setuju?”




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Sabtu, 02 Agustus 2014

Idul Fitri 1435H di Kampung Halaman

0 komentar

Lama tidak memposting sampah artikel di blog ini, sekarang aku kembali untuk menulis sampah cerita pengalaman lebaran di kampung halaman tercinta. Hell yeah!

Aku pulang ke Bengkulu tanggal 17 Juli 2014 naik bis Family Raya dari Semarang. Perjalanan panjang yang sangat tak terduga, karena lama perjalanan yang semestinya 2 hari 2 malam malah jadi 3 hari 3 malam. Kenapa bisa begitu? Tidak lain karena tragedi amblesnya jembatan Comal yang merupakan jalur utama pantura tepatnya di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Iya, pada malam itu *dramatis* bis kami sudah tinggal beberapa langkah lagi melewati jembatan Comal. Hanya menunggu 1 mobil di depan kami. Namun sialnya jembatan itu tiba-tiba ambles begitu saja. Dan bis kami terpaksa berbalik arah ke jalur alternatif yang--entahlah waktu itu aku tidur mulu--memakan waktu sampai 24 jam alias 1hari1malam ditambah dengan kemacetan yang panjangnya bukan kepalang. Alhasil, perjalanan pulang kampungku kali ini berhasil membuat pantat makin tepos.

Keluargaku yang unyu
Singkat cerita, seminggu kemudian lebaran pun tiba. Hari pertama kami habiskan dengan bersilaturahmi dengan keluarga besar di rumah nenek di Bengkulu. Tak lupa berkeliling ke rumah tetangga-tetangga yang kira-kira masak makanan enak *astaghfirullah*. Kebersamaannya itu lho, yang nggak akan didapatkan di hari-hari biasa. Jadi terharu. Eh tambah lagi dink, makanan-makanannya juga nggak akan didapatkan di hari-hari biasa. *ngelap iler*

Lebaran hari kedua, kami sekeluarga pulang kampung ke dusun papa di Sumatera Selatan. Dusun papa itu namanya dusun Dawas, dengan kabupaten Musi Banyuasin. Noohh, hebatkan aku? udah pulang kampung ke Bengkulu, pulang kampung lagi ke dusun Dawas. Dusun Dawas itu dusun yang sangaaat dusun. Soalnya pelosok banget, PLN aja baru beberapa tahun ini masuk kesono.

Jalan menuju dusun Dawas
Perjalanan yang menyenangkan
Disana, kami bertemu dengan sanak saudara serta teman-teman lama papa. Kelihatan sekali rona bahagia di wajahnya karena kesempatan untuk berkumpul seperti ini tidak bisa didapatkan tiap tahunnya. Selama 2 malam disana kami sekeluarga menginap di rumah wak pek, yahh... semacam kakak sepupunya papa lah. Anak-anak wak pek itu sudah berkeluarga dan sukses semua. Salah satu dari mereka adalah TakPi yang lumayan akrab karena sering berkomunikasi lewat media sosial walaupun ia dan keluarganya sekarang menetap di Samarinda. Ohya, TakPi sekeluarga juga pernah ke Semarang dulu dalam rangka liburan keluarga. Dan kini walau kami semua berjauhan, ada yang di Samarinda, di Semarang, di Bengkulu, di Palembang, namun hari raya nan fitri ini mempertemukan kami semua. Subhanallah Walhamdulillah Wallahuakbar :')

Kalau bisa dibilang, Dusun Dawas itu dusun yang memiliki 'ciri khas'. Kalau di daerah-daerah lain kita biasa melihat kebun, gunung dan sawah yang membentang, jangan harap disini kita akan menemukannya. Yang ada disini hanyalah hutan lebat serta kebun-kebun karet dan sawit. Struktur tanahnya terdiri dari tanah lempung yang berwarna jingga dan putih. Tanah model begini yang membuat jalanan berdebu dan daun-daun di pohon berselimutkan debu tebal. Udaranya pun kini terasa lebih panas karena hutan-hutan telah banyak diganti menjadi perkebunan sawit. Kalau siang hari, kepalaku sering sakit dibuat pemandangan sekitar sini.
Tapi dibalik itu semua, dusun ini memiliki keunikan yang bisa dibilang 'satu-satunya' di Indonesia. Adalah spesies tanaman langka yang tumbuh disekitarnya. Pernah mendengar jambu rusia? atau jambu kemang? nah, inilah tanaman langka yang tidak dapat dijumpai di daerah lain di Indonesia kecuali di dusun ini. Jambu rusia berbentuk bulatan-bulatan kecil yang hijau saat mentah dan putih setelah masak. Rasanya asem-manis, tapi aku suka sekali memakannya sejak pertama kali di ajak ke dusun ini bersama sepupu-sepupuku di Palembang. Sedangkan jambu kemang, berbentuk bulat dan panjang, serta berwarna putih ketika masak. Rasanya manis kecut juga sama seperti jambu rusia tadi.
Jambu Rusia
Papa dan duku yang masih mentah
Di dusun Dawas juga banyak sekali pohon duku. Tahu buah duku kan? itu lho, yang buahnya bulat-bulat kecil berwarna kuning keputih-putihan. Terlalu sekali jika ada yang tidak tahu. Nah, hampir di semua bagian belakang rumah warga disana terdapat batang duku, dan kebetulan saat kami datang sedang musimnya duku berbuah.  Jadi kerjaan kami kalau berkunjung ke rumah saudara pasti juluk-juluk duku alias panen langsung dari batangnya. Aaaghh... senang sekali rasanya, yang beginian mana mungkin dialami di Semarang.
Satu kekhasan lagi yang dimiliki Dawas, yaitu gulai jeghuknya. Jeghuk itu kalau di tempat lain namanya 'tempuyak' yaitu durian yang difermentasikan sehingga rasanya berubah jadi asem-asin, dan bisa awet sampai bertahun-tahun. Durian fermentasi ini kemudian digunakan sebagai bahan makanan. Salah satunya adalah gulai jeghuk tadi. Gulai jeghuk biasanya menggunakan ayam sebagai lauknya dan tentu saja jeghuk sebagai kuahnya. Selain gulai jeghuk, durian fermentasi juga bisa dijadikan sambal. Kalau di Bengkulu aku paling suka dijadikan sambal, dengan campuran udang dan petai. Slurppp...
Ayuk Ana dan anaknya
Dari sekian banyak dulur-dulur disana, diantaranya kami juga menghabiskan banyak waktu di rumah ayuk Ana. Ayuk Ana itu tinggal di rumah kami di Bengkulu selama kurang lebih 7 tahun. Ia dipercayai oleh mama-papa untuk mengasuh adik-adikku yang kala itu masih kecil-kecil dan nakal. Sambil dia sekolah SMP dan SMA juga di Bengkulu. Dulu, dia itu jadi teman berantemku di rumah. Aku suka sekali cari masalah sama dia. Suka ngejahilin dia, suka ngejek-ngejek dia. *ketawa setan* Ehh, tau-tau sekarang dia sudah punya anak aja. Suatu kali dia pernah bilang ke aku kalo dia nggak mau nikah buru-buru. Tamat SMA mau cari kerja dulu, mau nerusin kuliah dulu, atau apa dulu lah. Eeehhh, pas pulkam ke Dawas buat lebaran, tau-taunya ada pemuda dusun yang melamar. Langsung nikah deh. Hahaha... ayuk Ana, ayuk Ana. Pokoknya karena itulah keluarga kami jadi akrab dengan mereka. Waktu kesana kami dimasakin makanan enak dan diberi banyak oleh-oleh.
 Ini makanan-makanan yang selalu tersedia tiap lebaran
mama & nenek pisat, adiknya nenek kandung kami
Kami sekeluarga yang narsis ini pun tak lupa beraksi di kamera. Setiap ketemu momen seru pasti di abadikan dengan kamera, baik dari kamera saku maupun kamera ponsel smartfren milikku yang berseri Andromax U. Namun sayang, kebahagiaan kami tersebut tidak bisa begitu saja dishare ke teman-teman dan saudara-saudara secara online karena jaringan smartfren belum tersedia di dusun kecil ini.
Bersama keluarga wak pek sebelum pulang
Hari ketiga disana alias hari lebaran ke-4, kami pun pulang ke Bengkulu. Dengan menempuh perjalanan selama 10 jam dengan si merah kami yang gagah, dan papa selaku supir yang tak tergantikan. Maksudnya nggak ada yang bisa gantiin. T.T
Saat melewati kota Linggau, ponsel smartfren andromax U milikku menangkap sinyal. Aku senang sekali, akhirnya aku bisa meng-share foto-foto kami selama di Dawas ke media sosial. Tak sedikit saudara-saudara kami yang tidak ikut pulang ke Dawas mengomentari foto-foto kami. Dan aku pun menceritakan sedikit banyak pengalaman kami bertemu dengan saudara-saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Terakhir, tak lupa aku menulis status "Lebaran itu Indah" di halaman facebook yang mewakili perasaan kami saat ini. :)
Sesampainya di rumah, senyum sumringah di wajah kami telah berganti menjadi wajah-wajah kucel yang kelelahan. Belum lagi mama yang --as usual-- kembali ngomel-ngomel karena menemukan tai kucing teronggok di tiap sudut rumah. Akhirnya kembalilah kami ke alam yang sebenarnya. (>.<)

At least, Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah
Minal Aidin Walfaidzin, Mohon maaf lahir batin,

Cora & Family.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Minggu, 22 Juni 2014

Cerita Pendek Tentang Kucing

0 komentar
Bicara tentang kucing yang menjadi hewan favoritku, di keluargaku ada kejadian absurd yang sering terjadi. Berhubung seluruh anggota keluarga menyukai kucing, kecuali mama, jadi mama mengalah saja. Beliau hanya bisa mengeluh kesal jika kucing-kucing itu berbuat tidak senonoh. Salah satu kisahnya adalah sebagai berikut.
"Papaaaaaaaaa....?!" teriak mama dari arah dapur.
Papa yang sedang sibuk bersosial media di depan komputer pun menjawab. "Oyyy... ngapo?"
"Tolong carikan tai kucing dulu. Baunyo ado di sekitar dapur." ujar mama dengan nada kesal.
"Biarlah!" Papa balik kesal. "Tiap hari ribut minta carikan tai kucing! untuk apo sih? tai kucing itu idak enak, busuk!"
Terjadilah perang mulut antara papa dan mama dikarenakan kesalahpahaman tentang tai kucing. Aku dan saudara-saudara lain di kamar pura-pura tidak mendengar saja.
Di lain kesempatan papa suka menggosipi mama dengan berkata, "mama itu senang nian samo tai kucing. Tiap tercium bau tai kucing pasti minta carikan."
Krik krik krik... terdengar suara jangkrik dalam keheningan.
Yah, begitulah ceritanya. Singkat kan?



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Selasa, 10 Juni 2014

Suka Duka Puncak Gunung Prau

0 komentar
Yeahhh, puncak ke 4 berhasil kutaklukkan!
Yaelah, baru puncak ke-4 toh? Perasaan selama ini aku sudah sering mendaki deh... tapi yang baru nyampe puncak cuma 4. Pertama puncak Ungaran, kedua puncak Ceremai, ketiga puncak Merapi, dan yang terakhir kemarin puncak Prau. Kalo Sikunir termasuk gunung mungkin ini udah jadi puncak ke 5. Tapi sayang Sikunir cuma nama bukit... -_-
Naik truk, seperti sapi potong :D
Jadi ceritanya Sabtu kemarin aku berangkat dari Semarang bersama anak-anak jurusan statistik menuju Wonosobo. Tujuan kami adalah mendaki gunung Prau. Gunung yang berketinggian 2565 MDPL ini dapat kami taklukkan hanya dalam 2-3 jam saja, bro. Bayangkan, Ungaran yang tingginya 2050 MDPL saja memerlukan waktu 4-5 jam untuk sampai ke Puncak Botak. Jadi mendaki Prau tergolong cepat bukan? Ini dikarenakan Prau terletak di Kawasan Dieng yang memang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Jadi dalam 2 jam itu kita sudah dapat menikmati keindahan alam di puncak, bukit Teletubbies dan panorama menakjubkan seluruh kawasan Dieng.
Sembari istirahat, narsis dulu 
Senja mulai menguning, dan kami belum sampai puncak
Kami sampai ke Puncak sekitar jam 6 sore dimana hari sudah gelap dan suhu udara semakin rendah. Aku yang hanya mengenakan satu kaos tipis dan satu jaket yang bukan anti dingin rasanya tidak tahan berlama-lama di luar tenda. Begitu tenda siap, aku segera masuk dan merogoh sleeping bag dari dalam tas. Aku hanya keluar sebentar untuk masak mie bersama anak-anak, selebihnya aku masuk tenda lagi karena tidak tahan dingin. Sumpah itu dingin banget, rasanya lebih dingin daripada Pasar Bubrah di Merapi. Walau sudah menggunakan sleeping bag pun, aku masih menggelutuk kedinginan sampai pagi. Entahlah apa jadinya aku kalau tidak membawa sleeping bag, hanya bermodalkan kaos dan sebuah jaket tipis. Aku juga merasa tertolong dengan tenda kami yang penuh sesak. Bayangkan tenda buat 5-6 orang diisi oleh kami ber-8 orang. Kesempitan itu membuat suhu udara dalam tenda sedikit lebih tinggi. Hehe.
Matahari terbenam di Barat Dieng



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 21 April 2014

Resolusi di Secarik Kertas

0 komentar
Pernah membuat daftar resolusi nggak? Atau cita-cita? Atau apa aja deh yang pengen dilakukan dan dimiliki dalam jangka waktu tertentu? Kalo pernah berarti kita sama. Percaya nggak percaya menulis resolusi di kertas itu mujarab banget lho dibandingkan hanya dalam angan-angan dan pikiran. Aku sendiri sudah beberapa kali mengalaminya.
2,5 tahun yang lalu aku pernah menulis rangkaian rencana masa depan di atas kertas HVS dan kutempel di dinding kamar. Tapi selama 2,5 tahun itu pula aku melupakan kertas rencana masa depan itu karena kertasnya sudah dilapisi oleh kertas-kertas lainnya. Salah satu yang tertulis disana adalah umur 23 tahun aku punya bisnis pet shop. Kemudian fokusku tertuju pada kegiatan menulis dan banyak kegiatan lainnya. Suwer aku benar-benar melupakan keinginan untuk memiliki bisnis petshop selama 2 tahun lebih ini, sampaaaai akhirnya orang yang berarti buatku mengajakku berbisnis bersama. Kini kami sedang merintis bisnis kelinci dan kucing. Nah, barulah beberapa hari yang lalu kertas di dinding yang sudah berlapis debu itu aku buka kembali. Aku baru sadar bahwa aku pernah menulisnya. Dan usiaku sekarang tepat 23 tahun, sesuai dengan yang tertulis disana. Mungkin karena dulu banyak teman-teman membaca kertasku itu dan mengamininya. Kemudian saat aku lupa dan tenggelam dalam berbagai kegiatan, tuhan mengingatkanku melalui orang yang kusayangi. Semoga usaha kami membuahkan hasil yang baik Ya Tuhan... #curhatcolongan #doacolongan
Nah selain itu, ada hal lain yang membuatku percaya bahwa menulis resolusi di kertas itu mujarab banget. Akhir tahun lalu aku menulis resolusi yang berbunyi 'belajar menulis skenario pada bulan April 2014'. Tapi karena fokusku teralihkan oleh si kelinci dan kucing, sudah sebulanan ini aku melupakan resolusi itu. Aku merasa tidak punya cukup waktu untuk belajar menulis skenario. Belum lagi kuliahku juga masih banyak. Tanpa disangka, kemarin di kampus seorang dosen memberi tugas pada kelasku untuk membuat sebuah film. Dan yang dipercaya untuk menulis skrip naskahnya adalah aku. Hei, kesempatan itu ternyata datang sendiri! Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk belajar menulis skenario dari sini. Mungkin selain teman dan keluarga, malaikat juga turut mengamini doaku yang kutulis dalam bentuk resolusi tersebut. :D
Jadi mulai sekarang aku tidak akan ragu lagi menuliskan rencana, impian, cita-cita, dan target hidupku dalam secarik kertas. Kalau bisa dipajang di tempat yang kira-kira banyak orang bisa melihat dan mengamini. Agar cepat terkabulkan. Hehehe... :P


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kamis, 03 April 2014

Jenni, Kucingku Sayang

0 komentar


Saat hari pertama di Semarang setelah hampir 2 bulan liburan di Bengkulu, aku merasa sangat sedih. Rasanya itu kayak yang sepi... asing... sendiri karena nggak ada keluarga yang biasanya selalu ada di rumah. Kalo di rumah juga biasanya kan rame, ketawa terus, dan lebih-lebih bisa bermain dengan si kucing-kucing kecil kepunyaan Sherin dan Alif. Percaya nggak percaya, aku seharian itu menangis terus lho. Childist ya? emang sedih banget rasanya hari-hari pertama kembali ke kota rantauan.
Tiba-tiba, malam itu terlintas pemikiran untuk membeli seekor kucing supaya kalo di kosan ada yang bisa menghibur. Sebenarnya ada teman-teman akrabku juga di kosan, buat main. Tapi nggak taulah, rasa pengen punya kucing itu menggebu-gebu banget.
Besok siangnya jadilah aku bersama Pongky pergi ke pasar hewan Kartini untuk mencari kucing. Aku sih nggak butuh yang bagus-bagus banget. Yang penting dia lucu dan nggak nakal. Ada beberapa kucing yang bulunya bagus. Sejenis persia medium gitu deh. Tapi kenapa ya aku kurang srek sama kucing-kucing pesek model begitu. Selain itu bulunya yang terlalu panjang bisa-bisa bikin sesak nafas. Kemudian tingkahnya yang jaim dan sok anggun itu bikin aku males.
Tiba-tiba mataku tertuju pada seekor kucing kecil berwarna kembang telon. Warnanya hitam, oranye, dan putih. Dia melihatku seakan-akan minta dikasihani. Entahlah... aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kata yang jual  dia baru berusia 4 bulanan gitu, terus jenis kelaminnya perempuan. Dia turunan ketiga dari ras persia peaknose. Bulunya sih nggak sepanjang kucing persia lazimnya, tapi tetap cantik kok.
Waktu dikeluarkan dari kandang dia langsung diberi makan biskuit kucing. Dia makan lahap banget. Udah begitu dia juga atraktif, langsung lari-lari nangkap mainan pita-pita yang disodorkan oleh si penjualnya.
Melihat hal itu aku langsung setuju untuk membeli kucing kecil ini. Dan aku memberinya nama Jennifer Dungdung. FIX.
Kami tidak membawa Jenni langsung ke


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO