Jumat, 28 Oktober 2016

Mengenal Candi Mendut & Candi Pawon

0 komentar
CANDI MENDUT
Candi Mendut merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan umat Budha pada zaman dinasti Syailendra. Terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Sekitar 38 km dari Yogyakarta dan 95 km dari Semarang. Candi Mendut berada tepat di sebelah selatan candi Borobudur dengan jarak sejauh 3 kilometer.
Menurut ahli arkeologi asal Belanda, Dr. JG de Casparis, Candi Mendut dibangun oleh raja Indra, raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M.  Hal ini didasarkan pada isi prasasti Karang Tengah. Isinya disebutkan bahwa Raja Indra telah membuat bangunan suci bernama venu vana mandira yang artinya adalah bangunan suci di tengah hutan bambu. Namun ada pula ilmuan lain yang berpendapat bahwa venu vana mandira itu adalah candi Ngawen yang letaknya 6 km arah timur dari Mendut.
Candi ini ditemukan kembali pertama kali pada tahun 1836. Hampir seluruh bangunan candi ditemukan kecuali bagian atapnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1897-1904 Candi Mendut dipugar dan direkonstruksi dengan hasil yang cukup memuaskan, namun sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana. Hingga akhirnya dilanjutkan kembali pada tahun 1925 dengan hasil yang mendekati sempurna.
Candi Mendut memiliki dasar berbentuk persegi empat dengan pintu menghadap ke barat. Tinggi bangunan seluruhnya 26, 4 meter, dengan 48 stupa kecil yang terpasang, dan dinding-dindingnya dihiasi dengan 31 panel relief yang memuat berbagai cerita, ornamen kembang dan sulur-suluran yang indah.Cerita pada panel-panel relief yang terpahat di dinding candi ini dapat dilihat secara pradakina yaitu mengelilingi candi dari sisi kiri pintu. Begitu pun dengan relief jajaran dewa-dewa utamanya.

Salah satu relief di sisi kanan kaki candi
 Pada dinding timur terpahat relief Bodhisatwa yang menggambarkan Sosok Budha Awalokiteswara yang bertangan empat sedang berdiri di atas tempat seperti lingga. Pada dinding utara terpahat relief Dewi Tara yang bertangan delapan sedang duduk di atas padmasana dan diapait dua lelaki. Pada dinding selatan terpahat relief sosok Manjucri. Sedangkan pada dinding utara di dekat pintu masuk terpahat relief Sarwaniwaranawiskhambi sedang berdiri di bawah sebuah payung.
Di dalam ruangan candi terdapat tiga patung Budha yang besar. Yang di tengah dan terbesar adalah patung Budha Cakyamuni, duduk dengan kaki dalam sikap pralambha padasana dan tangan dalam sikap Dharmacakraprawartana mudra. Kedua bahasa tubuh itu menunjukkan sikap sedang mewejangkan ajaran. Di sebelah kanan patung Budha Cakyamuni adalah Awalokiteswara dengan tanda patung Amithaba di keningnya. Sementara di sebelah kiri patung Budha Cakyamuni adalah Wajrapani. Ketiga patung ini merupakan arca dewa utama di Candi Mendut yang menggambarkan tujuan didirikannya candi yakni untuk membebaskan diri dari karma badan (arca Cakyamuni), karma ucapan (arca Awalokiteswara) dan karma pikiran (arca Wajrapani).

Budha Cakyamuni
Saat masuk ke dalam ruangan candi ini, kita akan mencium aroma khas dupa, sesaji dan beberapa lilin yang berpijar di tiap sudut ruangan. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Mendut memang masih menjadi tempat pemujaan pemeluk agama Budha sampai sekarang.
Masih di kawasan candi Mendut, kita dapat menemukan dua bidang tanah yang masing-masing tersusun bebatuan candi yang tidak utuh. Karena tidak lengkap batu-batu ini tidak dapat direkonstruksi menjadi candi. Sekarang batu-batu hanya diletakkan di atas bidang tanah yang dilindungi oleh pagar.
Bebatuan candi yang tidak utuh
 
Di kawasan Candi Mendut, tak jauh dari pintu masuk, kita dapat menemukan Galeri Budha. Galeri ini mengoleksi berbagai macam benda yang berhubungan dengan Budha, seperti patung, lukisan, kitab, VCD, baju, kain, bahkan pohon bodhi. 
Galeri Budha
Pohon bodhi adalah pohon bersejarah umat budha, karena saat duduk di bawah pohon inilah Pangeran Siddharta mendapatkan ilmu tertinggi dan menjadi Buddha Siddharta Gautama. Jika teman-teman berminat dengan pohon bodhi, teman-teman bisa membelinya disini.
Meski tak seramai di Borobudur, kita juga dapat menemukan kios oleh-oleh di sepanjang jalan menuju pintu masuk candi Mendut

Tiket masuk candi Mendut sangat terjangkau, yaitu Rp. 3.500,-/ orang. Asyiknya lagi, jika sudah membayar tiket masuk ke candi mendut ini kita bisa gratis masuk ke kawasan Candi Pawon. Cukup dengan menunjukkan tiket masuk Candi Mendut pada petugas loket candi Pawon.

CANDI PAWON


Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Letaknya 1 km ke arah timur dari Borobudur. Sama seperti Candi mendut, Candi Pawon juga menghadap ke arah barat. Namun berbeda dengan bentuk candi Budha pada umumnya, Candi Pawon justru berbentuk ramping ke atas seperti candi Hindu.
Menurut Dr. JG De Casparis, nama Candi Pawon berasal dari kata pe-awu-an yang berarti tempat menyimpan abu sehingga Candi Pawon memiliki arti tempat penyimpanan abu jenazah raja Indra dari Dinasti Syailendra. Nama kampung tempat Candi Pawon berada adalah Brojonalan. Maka Candi Pawon juga sering disebut Candi Brjonalan. Brojonalan berasal dari kata Vajranala. Vajra berarti halilintar dan anala berarti api. Halilintar dan api merupakan lambang senjata Dewa Indra. Diperkirakan Candi Pawon merupakan area dewa Indra.
Sayangnya, sekarang tidak ditemukan satu arca pun di dalam tubuh candi Pawon. Padahal pada lantai terlihat bekas yang menunjukkan bahwa tadinya terdapat arca di tempat tersebut. Diperkirakan, semula terdapat Arca Bodhisatwa sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah mencapai tataran Bodhisatwa.
Candi Pawon yang bentuknya kecil memiliki ketinggian 1,5 meter dengan dasar berbentuk persegi empat, dan tepinya dibuat berliku-liku membentuk 20 sudut. Pada kaki candi tidak terdapat relief. Sementara badan candi sebelah luar terdapat motif pohon kalpataru yang tengah diapit oleh Kinara dan Kinari, sepasang burung berkepala manusia. Pada dinding bagian depan candi terdapat relief yang menggambarkan Dewa Kekayaan (Kuwera) dengan posisi berdiri.
Relief khas aliran Budha Mahayana
Candi Pawon disebut-sebut sebagai pintu gerbangnya Candi Borobudur karena letaknya dekat dengan Candi Borobudur. Area candi mungil ini sempit, berdekatan dengan rumah-rumah penduduk kampung Brojonalan. Mengunjungi kawasan candi ini kita akan merasakan sensasi kembali ke masa lampau, karena rumah-rumah di sekitar masih kental dengan ketradisionalannya. Disini kita juga dapat menemukan beberapa kios oleh-oleh yang menjual berbagai pernak-pernik candi.
Tiket masuk Candi Pawon sangat terjangkau, yaitu Rp. 3.500,-/orang, bahkan gratis jika kita menunjukkan tiket terusan masuk Candi Borobudur dan Candi Mendut.

Hubungan Candi Mendut - Pawon dengan Candi borobudur

Borobudur, Mendut dan Pawon merupakan tiga candi Budha yang posisinya berdekatan dan ketiganya terletak pada satu garis lurus. Sampai saat ini belum ada yang dapat mengetahui secara pasti apa makna di balik letak tiga candi yang berada pada satu garis lurus tersebut.Candi Mendut dan Candi Pawon memiliki kemiripan relief dengan Candi Borobudur. Penelitian mengungkapkan bahwa relief yang ada pada Candi Pawon adalah cikal bakal dari Candi Borobudur.Selain Candi Borobudur,

Candi Mendut dan Candi Pawon juga turut ambil peranan penting dalam pelaksanaan upacara hari besar Waisak. Waisak memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Siddarta Gautama, yang dikenal dengan Tri Suci Waisak. Tiga peristiwa penting itu antara lain hari kelahiran, hari pencerahan ketika Pangeran Siddharta menjadi budha (memperoleh pengetahuan tertinggi), dan hari wafatnya beliau.Prosesi ibadah Tri Suci Waisak dimulai dari pengambilan air suci dari Temanggung dan disimpan di dalam Candi Mendut pada hari pertama. Pada hari kedua, obor Waisak akan dinyalakan. Api yang diambil dari api abadi Mrapen, Grobogan ini disimpan dulu di Candi Mendut sampai tiba hari puncak perayaan Waisak. Di hari ke tiga alias hari puncak, air suci, api abadi dan simbol-simbol sakral lainnya diarak dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur. Prosesi arak-arakan dari Candi mendut ke Candi Borobudur ini melewati Candi Pawon sebagai pintu gerbang Candi Borobudur. Terakhir, puncak perayaan Waisak pun berlangsung di sisi barat Candi Borobudur.


Sumber Pustaka :
- Wisata Candi di Jogja (2014) oleh Bellavia Ariestia Dofi, Spsi
-Candi Borobudur, Candi Pawon - Candi Mendut (2006) oleh Aiaz Raharja

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)

Selasa, 20 Oktober 2015

New Arrive! Couple Traveler edisi Jawa Tengah

0 komentar
Couple Traveler (BIP, 2015)
Harga Rp. 73.000,-
Buku traveling pertama saya sudah terbit lho, sobat pembaca. Selain merekam kisah perjalanan saya dan travelmate, buku ini juga memberikan informasi penting buat kalian yang berencana untuk liburan ke Jawa Tengah. Pokoknya smart traveler wajib deh baca buku ini!
Couple Traveler bisa didapat di berbagai toko buku se-nusantara. Tapi buat kalian yang ingin mendapatkannya khusus dari saya, sebaiknya buruan order sekarang juga karena persediaannya terbatas. Ssst, mumpung diskon 10% lho!

Satu lagi, bagi yang suka gratisan, jangan lupa follow instagram @cora_pandu_aslamic untuk ikutan kuis berhadian buku Couple Traveler secara cuma-cuma. Ditunggu yaaa....

#kuisbuku #kuisgratis #kuisberhadiah #coupletraveler #bukucoupletraveler #bukuBIP #bukutraveling

Minggu, 07 Juni 2015

Hiding My Heart Away

0 komentar
This is how the story went
I met someone by accident
Blew me away, blew me away
And it was in the darkness of my days
When you took my sorrow, when you took my pain
And burried them away, burried them away

I wish I could lay down beside you
When the day is done
Wake up to your face against the morning sun
But like everything I've ever known
You dissapear one day
So I'll spend my whole life hiding my heart away

Dropped you off at the train station
Put a kiss on top of your head
Watch you wave
And watched you wave
Then I went on home to my skyscraper
A neon light of waiting papers
That I call home
I call that home

I wish I could lay down beside you
When the day is done
Wake up to your face against the morning sun
But like everything I've ever known
You dissapear one day
So I'll spend my whole life hiding my heart away

Woke up feeling heavy hearted
I'm going back to where I started
The morning rain, 
the morning rain
And thought I wish that you were here
On the same old road that brought me here
It's calling me home
It's calling me home

Aku harap aku tak harus mengalami hal yang sama dengan lagu ini.








Jumat, 19 Desember 2014

Dia Yang Selalu Dingin dan Tenang

0 komentar

Kini jalur yang kami lewati kembali terjal. Namun debunya tidak sebanyak tadi. Justru yang banyak kini bebatuan dengan ukuran besar. Sesekali kami berhenti lalu bersandar di batu berukuran besar untuk menenggak sedikit air minum. Di antara istirahat kami juga melihat gemerlap lampu di perkampungan penduduk. Di sebelah barat kami melihat lampu yang lebih banyak di jarak yang lebih jauh. Mungkinkah itu kota Mataram?
“Ayo, udah dua menit.” Ujar Bagas sambil melihat jam tangan. Ia berdiri dengan sigap untuk melanjutkan perjalanan.
“Bentar lagi. Nyantai dong, kenapa sih kamu selalu terburu-buru?” protesku.
Ia diam saja dan kembali duduk di sampingku.
“Hei, Bagas!” teriak pendaki yang kepalanya baru nongol dari balik tanjakan. Rupanya itu Adji, Mas Wandas dan Mas Zaenal.
“Kalian di belakang rupanya?” tanya Bagas.
“Iya, kami nggak tergesa-gesa kok.” Jawab Mas Zaenal.
“Mau?’ Mas Wandas menawari kami sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Aku menolak karena aku juga sudah membawa bekal cokelatku sendiri.
“Gimana, masih semangat kan? Santai aja, nggak usah terburu-buru.” Ujar Mas Wandas lagi padaku.
“Aku nggak mau ketinggalan sunrise di puncak, bro. Yuk, lanjut.” Ujar Bagas.
Kemudian ia kembali berjalan, meninggalkan kami berempat yang masih duduk di batu sebesar almari. Ia berjalan perlahan karena cahaya headlampnya sangat redup.
Tak lama kemudian aku juga melanjutkan perjalanan. Mereka bertiga ikut-ikutan melanjutkan perjalanan.
“Hati-hati, Cila.” Mas Wandas sok perhatian. Lalu ia mencoba memegang tanganku seakan-akan aku anak kecil yang baru belajar berjalan.
“Nggak usah dipegang, mas. Aku bisa jalan sendiri kok.” Tegasku.
“Eaaakk, Wandas mulai curi-curi kesempatan nih.” Adji tertawa-tawa.
“Kan mumpung si Bagas nggak liat, ya nggak dek Cila?” jawab Mas Wandas, kemudian ia berusaha merangkul pundakku.
Entah bercanda entah serius, tapi aku sangat risih diperlakukan seperti itu. Aku langsung menepis tangannya dan berlari menyusul Bagas yang sudah berjalan lebih dulu dari kami.
“Bagas!” aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak menoleh. Ia terus melangkah maju seakan tak mendengar apa-apa.
“Bagas!” aku masih memanggilnya sambil berlari.
Saat aku hampir mendekatinya, ia menoleh ke belakang. “Kamu kenapa lari?” tanyanya polos.
“Aku manggil-manggil kamu nggak denger?” tanyaku balik dengan nafas ngos-ngosan. “Kamu tuh kenapa sih nggak bisa jalan pelan sedikit? Asal kamu tahu aja, tiap nggak ada kamu, Mas Wandas itu selalu cari-cari kesempatan. Tadi aja dia mau rangkul aku. makanya aku langsung lari-lari manggil kamu. Bisa nggak sih aku minta tolong kamu buat jagain aku, di gunung ini aja? Nggak bisa?”
Bagas terdiam sesaat dengan wajah tenangnya yang seperti biasa. Lalu ia menoleh ke belakang, dimana terdapat Mas Wandas dan yang lain sedang berjalan beriringan. “Masa sih dia begitu?” tanya Bagas tak percaya.
“Iya, dia itu genit asal kamu tahu.”
“Ya sudah, aku jalan di belakangmu aja.” Akhirnya Bagas mengalah. Ia mempersilahkanku berjalan lebih dahulu dan mengimbangi irama langkah kakiku yang pelan.

Kamis, 30 Oktober 2014

Toko Online 'Backpackeren Indonesia'

0 komentar
Hai semua. Kini aku sudah punya toko online sendiri lho, yang menyediakan berbagai perlengkapan outdoor. Buat teman-teman yang doyan naik gunung ataupun backpackeran, bisa kunjungi website kami di www.pongker.com
Kami menyediakan sepatu, jaket, tas, carrier, sleeping bag, jam tangan, kompor portable, nesting, dan masih banyak lagi dengan harga yang terjangkau. Sooo.... tunggu apa lagi? let's check it out!


Salam Lestari!

Rabu, 22 Oktober 2014

Pak Porter, Profesimu Bertaruh Nyawa!

0 komentar
sumber: http://www.qimisummit.com/

Bukit demi bukit kami lewati dengan penuh perjuangan. Peluh membanjir hampir di setiap bagian tubuh, bercampur dengan material debu yang mengepul tiap kaki ini menapak.
“Plawangan masih jauh, pak?” aku bertanya pada seorang porter yang kebetulan sedang mendaki mengantar turis asing.
“Sebentar lagi juga sampai, dek.” Jawabnya. “Side olek mbe’?”
“Hah, apa, pak?” aku dan yang lain mengernyitkan dahi.
Si bapak porter tertawa. “Oh, saya kira dari Lombok saja. Maksud saya tadi, kamu darimana?”
“Dari Jawa, pak. Ada yang Semarang, Brebes, Jogja…”
“Oh, ya sudah mari kita melanjutkan perjalanan. Sedikit lagi sampai kok. Ini sudah bukit ke-4. Tinggal 3 bukit lagi.” Ajak bapak itu dengan bersemangat. Ia melanjutkan langkah kakinya yang lebar mengikuti langkah turis asing di depannya.

Aku memandang dengan takjub sekaligus heran. Apa dia tidak merasa lelah setiap hari naik turun Rinjani? Lihat, ia hanya memakai celana kain tipis, kaos oblong dan sandal jepit sebagai alas kaki. Jauh dari kata safety yang mutlak wajib bagi para pendaki. Ia hanya memikul dua keranjang yang berisi bahan makanan dan beberapa sleeping bag. Tiba-tiba aku jadi mengkhawatirkan mereka. Tapi aku juga mengkhawatirkan diri sendiri apakah aku bisa melanjutkan pendakian ini. Tungkai kakiku gemetaran menopang tubuh dan carrier yang kubawa. Harusnya aku bisa minta tolong Bagas untuk membawakan carrierku juga. Anyway, sudah sampai dimana itu bocah? Sudah berleha-leha di Plawangan bersama bule seksi tadi kah? Agh!