Jumat, 15 Agustus 2014

Sungai Musi, Persahabatan dan Cinta (2)

0 komentar
Satu menit, dua menit, tiga menit...
Menit demi menit pun berlalu. Kami berdua masih terdiam di tempat yang sama. Dengan latar perahu yang bersandar di tepi dermaga, dan anak-anak kecil yang sibuk menceburkan diri ke sungai berulang kali.
"What's on your mind, girl?" tanyanya kemudian.
Aku menoleh padanya. Seulas senyum pun kini tertoreh di wajahnya kala kami bertatapan. Senyum yang sama saat pertama kali aku bertemu dengannya 10 tahun yang lalu.Waktu itu aku baru kelas 5 SD, dan dia kelas 6 SD. Aku diajak papa dan mama untuk bertamu ke rumahnya, tepatnya rumah orangtuanya yang tak jauh dari rumah nenekku. Waktu itu ia sedang bermain dengan saudara-saudaranya, dengan sekali-kali mencuri pandangan dan tersenyum ke arahku. Aahh... apa aku cuma kegeeran waktu itu? Yang jelas senyum itulah yang membuatku kemudian ingin megenalnya lebih dekat. Dan keinginan itu pun terwujud karena sepupuku yang menangkap basah kami sering mencuri pandang berinisiatif untuk mengenalkan aku dengannya.
"Rea?" ia menyebut namaku saat melewati rumah nenek dan aku sedang berada di teras. Saat itu kami sedang bersiap-siap untuk pulang ke Bengkulu. Dan aku menangis meninggalkannya...

"Rea? Rea?" panggilnya, membuyarkan lamunanku.
Oh My Gosh! aku terlalu lama melamun. "Iya kenapa?"
"Kamu kenapa sih, ngelamun terus?"
"Nggak apa-apa." Aku cuma sedikit mengingat pertemuan kita pertama kali dulu, sambungku dalam hati. Hebat juga cowok satu ini, berhasil membuatku lupa dengan kenangan pahit yang tadinya memaksa untuk dikenang. 
"Coba liat deh, mbak yang itu," tunjuknya pada seorang perempuan muda berrambut panjang yang duduk tak jauh dari kami. "Kayaknya dia naksir aku deh. Dia ngeliatin aku terus!"
"What?! mana mungkin?" aku terbelalak. Kupandangi wajahnya dari berbagai posisi, wajah yang oval, kulit sawo matang, mata sipit, hidung mancung, senyum yang manis...
"Mana mungkin dia suka sama cowok jelek kayak kamu?" komentarku kemudian.
"Hahahaha. Aku kan tampan?"
Aku memasang tampang mau muntah.

"Becanda, becanda." sambungnya lagi. "Sebenarnya aku lagi mikirin sesuatu." Wajah maskulin itu berubah serius.
"Apa?"
"Kamu pernah ngerasa kesepian nggak?"
"Pernah, dulu waktu papa dan mama pergi ke Jakarta sementara aku harus tinggal di rumah berdua dengan si mbak."
"Berapa bulan?"
"Tiga hari."
"Kamu bisa bayangin nggak aku yang ditinggal ibuku selamanya, dan ayah yang jarang pulang ke rumah karena menikah lagi dengan wanita lain di Linggau sana. Dan aku harus kesepian di rumah setiap hari."
Tiba-tiba aku jadi tak enak padanya. "I'm sorry to hear that..."
"Nggak apa-apa, Rea. Aku cuma mau sedikit berbagi denganmu, jadi kamu cukup mendengarkan ceritaku aja."
Aku mengangguk sambil sedikit mengusap pundaknya. "Siap, bos!"
"Kamu lihat sendiri kan, rumahku sekarang? Sepi, hampa, seperti nggak ada kehidupan. Beda banget sama rumahku yang dulu, waktu pertama kali kamu datang sama orangtuamu. Sekarang aku sama seperti rumah itu. Sepi, hampa, nggak keurus, nggak ada kasih sayang lagi dari keluarga." Ia menghela nafas. "See, aku tumbuh dewasa sendiri, tanpa didikan dari keluarga. Mengurus semuanya sendiri, menafkahi diri sendiri mulai dari membantu tukang nasi goreng berjualan, sampai akhirnya berwirausaha sendiri."
"Jujur aku nggak nyangka keluargamu yang dulu tampak harmonis sekarang jadi begini." ujarku. "Terus adikmu dimana sekarang?"
"Tinggal di Linggau sama ayah."
"Lho, kenapa kamu nggak ikut sama mereka aja?"
"Aku?" ia menunjuk dadanya. "Ikut? najis."
"Kok najis sih?"
"Sejak saat itu aku bertengkar terus dengan ayahku. Aku benci dia, bahkan hingga kini."
"Tapi kan, bagaimanapun juga dia itu ayah kamu?"
Ia menatapku lagi, sambil tersenyum. Namun kali ini ia merangkul pundakku. "Ssssttt... Makasih ya udah mau dengerin aku."

Kini, sudah 4 tahun aku tidak bertemu lagi dengan sahabatku yang satu ini. Aku mendapat kabar bahwa ayahnya sudah meninggalkannya jauh, lebih jauh dari sekedar kota Linggau. Ayahnya berpulang ke pangkuan tuhan. Dibalik semua keceriaan yang ia tampilkan pada orang banyak, ia juga memendam kesedihan dan kebencian yang dalam. Aku mengagumi sosok itu. Sosok yang keras kepala, namun pekerja keras dan memiliki hati yang tegar.

#TravelFiction


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Kamis, 14 Agustus 2014

Sungai Musi, Persahabatan dan Cinta

0 komentar
"Nanti kalo masing-masing dari kita sudah berkeluarga, jangan lupa saling kirim kabar," ujarnya ketika kami melewati stadion, tak jauh dari mall Palembang Square.
Aku mengangguk setuju. "Iya dong, kita kan SAHABAT."
"Kalo bisa nanti kita jodohin aja anak kita. Gimana?" sambungnya dengan wajah jenaka.
"Gimana ya? Kita liat nanti, kalo istri kamu cantik ya bolehlaah." jawabku asal.
Ia menoyor pipiku gemas. "Sialan!"
Cowok ini cerewet sekali, batinku.
"Karena jarang-jarang ke Palembang, kamu bakal aku traktir deh. Mau makan apa aja, dimana aja, terserah," ia nyerocos lagi.
"Yang bener?" aku menyikut lengannya rese. Senyum malaikatku berubah menjadi senyum iblis. Huahahaha...
Hari itu kami jalan-jalan mengelilingi kota pempek, dimana tanahnya terbelah dua oleh adanya sungai Musi.
Kami mencicipi semua kuliner yang menurutnyaa paling enak disini. Martabak Har, sate padang, dan pempek tentunya. Kami juga jalan-jalan ke toko buku, pusat perbelanjaan, sampai ke counter hape. Untuk apa? tentu saja belanja. 
Sampai akhirnya kami tiba di keramaian pasar yang terletak di tepi sungai Musi. Wow, kawasan ini makin ramai saja. Terakhir kali aku datang 3 tahun yang lalu, pasar 16 tak serapi ini. Penataan taman, lampu-lampu di jembatan Ampera, dan tulisan-tulisan persuasif tentang Kota Palembang juga sudah semakin indah.
"Kamu sudah pernah belum masuk ke benteng Kuto Besak?" tanyanya ketika kami berjalan santai menuju tepi sungai. Tak jauh dari sana terdapat sebuah benteng yang menjadi salah satu landmark kota Palembang. Benteng Kuto Besak. Bangunan kuno itu berdiri kokoh ditepi sungai Musi, tak jauh dari tempat bersandarnya perahu-perahu getek yang melengkapi keramaian Sungai Musi.
"Belum, tapi aku kurang tertarik masuk kesana."
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Aku lebih suka jalan-jalan ke tempat yang alami. Seperti sungai, hutan, gunung, pulau kecil."
"Kalo gitu kita ke Pulau Kemaro yuk?" Iya menarik tanganku, mendekati perahu-perahu yang sedang bersandar.
"Jangan sekarang lah. Nggak seru kalo kita berdua doang," tolakku. Sebenarnya itu alibiku saja untuk menolak. Aku sudah pernah kesana dengan seseorang. 
Dulu... 
Dulu sekali...
Pulau Kemaro itu adalah sebuah daratan kecil yang terbentuk dari endapan tanah  lumpur di tengah-tengah sungai Musi. Sejak zaman dahulu, tempat ini telah dipergunakan oleh pemeluk agama Kong Hu Cu untuk beribadah. Mereka membangun pagoda yang tinggi, patung-patung simbol khas Cina, dan bangunan kuil yang indah untuk beribadah. Namun kini tempat itu bukan lagi hanya sekedar tempat beribadah, melainkan sudah menjadi temat wisata masyarakat umum. Untuk menuju kesana, kita harus menyewa perahu getek atau speedboat dengan waktu perjalanan 10-20 menit. 
Dulu aku pernah kesana, dengan seseorang yang pernah sangat kusukai. Tapi suatu kali ia menjauhiku dan hilang tanpa kabar berita. Sejak itulah semua kenangan yang ada di Pulau kecil itu ingin kulenyapkan dalam memori otakku.
Kini kami duduk di tepi dermaga, menghadap ke sebuah perahu berukuran lumayan besar. Dan menatap pada beberapa anak kecil yang dengan riangnya melompat dari dermaga ke dalam air, berenang, kemudian naik, dan melakukan hal yang sama berulang kali.
Aku diam, dia pun diam. Dan kenangan itu memaksaku kembali untuk mengingatnya...

#Travelfiction
Bersambung...


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Selasa, 12 Agustus 2014

Coming Soon

0 komentar
“Sayang, kamu berubah dong. Ayahku udah ngasih ultimatum nih.” Ucap Lyn bersungguh-sungguh.
Sementara Asta, menjawabnya asal-asalan saja. “Berubah gimana sih? berubah jadi power ranger gitu?” tanyanya balik.
“Ya, kamu harus berubah. Kuliahnya yang bener, jangan males-malesan kayak gini terus. Kemarin ayahku bilang, kalo kamu nggak nyelesain kuliahmu tepat waktu, aku harus putus hubungan sama kamu. Serem kan?”
“Memangnya kenapa harus tepat waktu?”
“Bayangin aja deh. Sebentar lagi aku lulus, dengan masa studi 3,5 tahun.  Setelah itu ayahku sudah menyiapkan pekerjaan dan posisi yang bagus untukku di perusahaannya. Otomatis aku sudah berpenghasilan sendiri kan. Nah, sementara calon suami aku, yaitu kamu, malah masih kuliah terkatung-katung dan keteteran kayak gini. Dan yang pastinya belum punya penghasilan. Ayahku tidak akan merestui hubungan kita, sayang.”
Asta terdiam. Telinga sekaligus hatinya panas mendengar ucapan Lyn barusan. Dia tidak dapat membayangkan apa jadinya bila ia nekat berterus terang untuk berhenti kuliah pada kekasih hatinya ini.
“Kalau kamu mau aku bisa kerja sekarang juga, tanpa harus mengandalkan gelar sarjana S1! Lagian aku juga sudah berpendapatan sendiri walaupun jumlahnya kecil!” emosi Asta mencuat. Heran, punya pacar bukannya meringankan beban, malah membuat Asta tambah tertekan.
“Y-yaaa… nggak gitu juga, Asta. Aku cuma memperingatkan kamu. Aku cuma takut hubungan kita terancam.” Seketika air muka Lyn berubah. Yang tadinya merekah kini menciut lesu. “Pendapatanmu dari menulis cerpen dan artikel itu kan cuma bisa buat memenuhi kebutuhan jajan dan update gadget doang. Mana bisa menghidupi keluarga kalo kita nikah nanti.”

(Triangle, my coming soon novel)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Cuplikan Novel Nocturnal

0 komentar
“Sayang…” bisik Aryo tiba-tiba.
“Iyaaa… aku tau kok kamu sayang sama aku.” Jawabku seenak udel.
Aku mengamati tangan Aryo bergerak maju, akan segera menoyor kepalaku. Aku dengan sigap menangkisnya.
“Wuuu… Bukan begitu, bayi. Aku mau Tanya sesuatu sama kamu. Tapi… kamu jangan marah ya?”
Aku tertegun. Dia mau Tanya apa? serius amat mukanya, tanyaku dalam hati.
Aku mengangguk dan membuat garis senyum semanis mungkin.
Dia mengusap-usap kepalaku. “Kamu… nggak ada yang lain kan… selain aku?”
Aku memasang tampang penuh tanda tanya.
“Kalo misalnya aku nggak ada nanti, kamu janji ya jangan nakal,” ucapnya lagi.
“Memangnya kamu… mau kemana?” tanyaku heran.
“Aku…keterima kerja di sebuah perusahaan dan pertambangan nikel di Sulawesi.”
“Haaah??” aku tebelalak. “Kamu kan belum wisuda, kok udah kerja segala? Jauh banget lagi.”
Ia masih mengelus-elus rambutku dengan lembut. “Magang sih, tapi digaji, bay. Udah susah-susah ikut tes, lolos, gajinya juga lumayan, masa aku sia-siain gitu aja. Kan lumayan juga nabung buat modal wirausaha nantinya.”
Aku menangguk-angguk, sok ngerti, padahal nggak. “Kontraknya berapa lama?”
“Enam bulan, sayang. Nggak apa-apa kan?”
Untuk kedua kalinya bola mataku membelalak, “Enam bulan? Enam bulan?? Enam bulan???” tanyaku berulang kali,  tak yakin dengan ucapan Aryo barusan.
“Iya, sayang. Insya Allah berangkatnya awal bulan depan.”
“Awal bulan depan itu kan tiga minggu lagi? Itu kan jadwal ekspedisiku sayang.” Aku mengingat intensitas bertemu kami yang semakin berkurang karena kesibukanku di nocturnal. Belum lagi dia mau pergi jauh untuk kurun waktu yang lama. Belum lagi saat-saat terakhir sebelum dia berangkat nanti aku semakin harus disibukkan dengan kegiatan pra ekspedisi, dan dia mungkin akan berangkat saat aku sedang berada di atas gunung Lawu. Sial, segini berkorbannya aku demi mendapat identitas sebagai anggota nocturnal.
Aku menarik nafas panjang dalam-dalam, lalu menghembuskannya hati-hati. “Kamu hati-hati ya disana nanti, jaga diri baik-baik. I’m very proud of you.” Ucapku akhirnya.
Mata Aryo berbinar seperti bintang kejora. “Makasih sayang. Aku juga bangga punya kamu. Kamu juga harus janji ya, jaga diri baik-baik buat aku. Walaupun umur jadian kita masih cupu banget, kita harus buktiin kalo cinta kita itu hebat. Kita harus bertahan walaupun kita jauh. Kita jangan mau kalah sama jarak. Setuju?”




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Sabtu, 02 Agustus 2014

Idul Fitri 1435H di Kampung Halaman

0 komentar

Lama tidak memposting sampah artikel di blog ini, sekarang aku kembali untuk menulis sampah cerita pengalaman lebaran di kampung halaman tercinta. Hell yeah!

Aku pulang ke Bengkulu tanggal 17 Juli 2014 naik bis Family Raya dari Semarang. Perjalanan panjang yang sangat tak terduga, karena lama perjalanan yang semestinya 2 hari 2 malam malah jadi 3 hari 3 malam. Kenapa bisa begitu? Tidak lain karena tragedi amblesnya jembatan Comal yang merupakan jalur utama pantura tepatnya di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Iya, pada malam itu *dramatis* bis kami sudah tinggal beberapa langkah lagi melewati jembatan Comal. Hanya menunggu 1 mobil di depan kami. Namun sialnya jembatan itu tiba-tiba ambles begitu saja. Dan bis kami terpaksa berbalik arah ke jalur alternatif yang--entahlah waktu itu aku tidur mulu--memakan waktu sampai 24 jam alias 1hari1malam ditambah dengan kemacetan yang panjangnya bukan kepalang. Alhasil, perjalanan pulang kampungku kali ini berhasil membuat pantat makin tepos.

Keluargaku yang unyu
Singkat cerita, seminggu kemudian lebaran pun tiba. Hari pertama kami habiskan dengan bersilaturahmi dengan keluarga besar di rumah nenek di Bengkulu. Tak lupa berkeliling ke rumah tetangga-tetangga yang kira-kira masak makanan enak *astaghfirullah*. Kebersamaannya itu lho, yang nggak akan didapatkan di hari-hari biasa. Jadi terharu. Eh tambah lagi dink, makanan-makanannya juga nggak akan didapatkan di hari-hari biasa. *ngelap iler*

Lebaran hari kedua, kami sekeluarga pulang kampung ke dusun papa di Sumatera Selatan. Dusun papa itu namanya dusun Dawas, dengan kabupaten Musi Banyuasin. Noohh, hebatkan aku? udah pulang kampung ke Bengkulu, pulang kampung lagi ke dusun Dawas. Dusun Dawas itu dusun yang sangaaat dusun. Soalnya pelosok banget, PLN aja baru beberapa tahun ini masuk kesono.

Jalan menuju dusun Dawas
Perjalanan yang menyenangkan
Disana, kami bertemu dengan sanak saudara serta teman-teman lama papa. Kelihatan sekali rona bahagia di wajahnya karena kesempatan untuk berkumpul seperti ini tidak bisa didapatkan tiap tahunnya. Selama 2 malam disana kami sekeluarga menginap di rumah wak pek, yahh... semacam kakak sepupunya papa lah. Anak-anak wak pek itu sudah berkeluarga dan sukses semua. Salah satu dari mereka adalah TakPi yang lumayan akrab karena sering berkomunikasi lewat media sosial walaupun ia dan keluarganya sekarang menetap di Samarinda. Ohya, TakPi sekeluarga juga pernah ke Semarang dulu dalam rangka liburan keluarga. Dan kini walau kami semua berjauhan, ada yang di Samarinda, di Semarang, di Bengkulu, di Palembang, namun hari raya nan fitri ini mempertemukan kami semua. Subhanallah Walhamdulillah Wallahuakbar :')

Kalau bisa dibilang, Dusun Dawas itu dusun yang memiliki 'ciri khas'. Kalau di daerah-daerah lain kita biasa melihat kebun, gunung dan sawah yang membentang, jangan harap disini kita akan menemukannya. Yang ada disini hanyalah hutan lebat serta kebun-kebun karet dan sawit. Struktur tanahnya terdiri dari tanah lempung yang berwarna jingga dan putih. Tanah model begini yang membuat jalanan berdebu dan daun-daun di pohon berselimutkan debu tebal. Udaranya pun kini terasa lebih panas karena hutan-hutan telah banyak diganti menjadi perkebunan sawit. Kalau siang hari, kepalaku sering sakit dibuat pemandangan sekitar sini.
Tapi dibalik itu semua, dusun ini memiliki keunikan yang bisa dibilang 'satu-satunya' di Indonesia. Adalah spesies tanaman langka yang tumbuh disekitarnya. Pernah mendengar jambu rusia? atau jambu kemang? nah, inilah tanaman langka yang tidak dapat dijumpai di daerah lain di Indonesia kecuali di dusun ini. Jambu rusia berbentuk bulatan-bulatan kecil yang hijau saat mentah dan putih setelah masak. Rasanya asem-manis, tapi aku suka sekali memakannya sejak pertama kali di ajak ke dusun ini bersama sepupu-sepupuku di Palembang. Sedangkan jambu kemang, berbentuk bulat dan panjang, serta berwarna putih ketika masak. Rasanya manis kecut juga sama seperti jambu rusia tadi.
Jambu Rusia
Papa dan duku yang masih mentah
Di dusun Dawas juga banyak sekali pohon duku. Tahu buah duku kan? itu lho, yang buahnya bulat-bulat kecil berwarna kuning keputih-putihan. Terlalu sekali jika ada yang tidak tahu. Nah, hampir di semua bagian belakang rumah warga disana terdapat batang duku, dan kebetulan saat kami datang sedang musimnya duku berbuah.  Jadi kerjaan kami kalau berkunjung ke rumah saudara pasti juluk-juluk duku alias panen langsung dari batangnya. Aaaghh... senang sekali rasanya, yang beginian mana mungkin dialami di Semarang.
Satu kekhasan lagi yang dimiliki Dawas, yaitu gulai jeghuknya. Jeghuk itu kalau di tempat lain namanya 'tempuyak' yaitu durian yang difermentasikan sehingga rasanya berubah jadi asem-asin, dan bisa awet sampai bertahun-tahun. Durian fermentasi ini kemudian digunakan sebagai bahan makanan. Salah satunya adalah gulai jeghuk tadi. Gulai jeghuk biasanya menggunakan ayam sebagai lauknya dan tentu saja jeghuk sebagai kuahnya. Selain gulai jeghuk, durian fermentasi juga bisa dijadikan sambal. Kalau di Bengkulu aku paling suka dijadikan sambal, dengan campuran udang dan petai. Slurppp...
Ayuk Ana dan anaknya
Dari sekian banyak dulur-dulur disana, diantaranya kami juga menghabiskan banyak waktu di rumah ayuk Ana. Ayuk Ana itu tinggal di rumah kami di Bengkulu selama kurang lebih 7 tahun. Ia dipercayai oleh mama-papa untuk mengasuh adik-adikku yang kala itu masih kecil-kecil dan nakal. Sambil dia sekolah SMP dan SMA juga di Bengkulu. Dulu, dia itu jadi teman berantemku di rumah. Aku suka sekali cari masalah sama dia. Suka ngejahilin dia, suka ngejek-ngejek dia. *ketawa setan* Ehh, tau-tau sekarang dia sudah punya anak aja. Suatu kali dia pernah bilang ke aku kalo dia nggak mau nikah buru-buru. Tamat SMA mau cari kerja dulu, mau nerusin kuliah dulu, atau apa dulu lah. Eeehhh, pas pulkam ke Dawas buat lebaran, tau-taunya ada pemuda dusun yang melamar. Langsung nikah deh. Hahaha... ayuk Ana, ayuk Ana. Pokoknya karena itulah keluarga kami jadi akrab dengan mereka. Waktu kesana kami dimasakin makanan enak dan diberi banyak oleh-oleh.
 Ini makanan-makanan yang selalu tersedia tiap lebaran
mama & nenek pisat, adiknya nenek kandung kami
Kami sekeluarga yang narsis ini pun tak lupa beraksi di kamera. Setiap ketemu momen seru pasti di abadikan dengan kamera, baik dari kamera saku maupun kamera ponsel smartfren milikku yang berseri Andromax U. Namun sayang, kebahagiaan kami tersebut tidak bisa begitu saja dishare ke teman-teman dan saudara-saudara secara online karena jaringan smartfren belum tersedia di dusun kecil ini.
Bersama keluarga wak pek sebelum pulang
Hari ketiga disana alias hari lebaran ke-4, kami pun pulang ke Bengkulu. Dengan menempuh perjalanan selama 10 jam dengan si merah kami yang gagah, dan papa selaku supir yang tak tergantikan. Maksudnya nggak ada yang bisa gantiin. T.T
Saat melewati kota Linggau, ponsel smartfren andromax U milikku menangkap sinyal. Aku senang sekali, akhirnya aku bisa meng-share foto-foto kami selama di Dawas ke media sosial. Tak sedikit saudara-saudara kami yang tidak ikut pulang ke Dawas mengomentari foto-foto kami. Dan aku pun menceritakan sedikit banyak pengalaman kami bertemu dengan saudara-saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Terakhir, tak lupa aku menulis status "Lebaran itu Indah" di halaman facebook yang mewakili perasaan kami saat ini. :)
Sesampainya di rumah, senyum sumringah di wajah kami telah berganti menjadi wajah-wajah kucel yang kelelahan. Belum lagi mama yang --as usual-- kembali ngomel-ngomel karena menemukan tai kucing teronggok di tiap sudut rumah. Akhirnya kembalilah kami ke alam yang sebenarnya. (>.<)

At least, Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah
Minal Aidin Walfaidzin, Mohon maaf lahir batin,

Cora & Family.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO