Selasa, 10 Juni 2014

Suka Duka Puncak Gunung Prau


Yeahhh, puncak ke 4 berhasil kutaklukkan!
Yaelah, baru puncak ke-4 toh? Perasaan selama ini aku sudah sering mendaki deh... tapi yang baru nyampe puncak cuma 4. Pertama puncak Ungaran, kedua puncak Ceremai, ketiga puncak Merapi, dan yang terakhir kemarin puncak Prau. Kalo Sikunir termasuk gunung mungkin ini udah jadi puncak ke 5. Tapi sayang Sikunir cuma nama bukit... -_-
Naik truk, seperti sapi potong :D
Jadi ceritanya Sabtu kemarin aku berangkat dari Semarang bersama anak-anak jurusan statistik menuju Wonosobo. Tujuan kami adalah mendaki gunung Prau. Gunung yang berketinggian 2565 MDPL ini dapat kami taklukkan hanya dalam 2-3 jam saja, bro. Bayangkan, Ungaran yang tingginya 2050 MDPL saja memerlukan waktu 4-5 jam untuk sampai ke Puncak Botak. Jadi mendaki Prau tergolong cepat bukan? Ini dikarenakan Prau terletak di Kawasan Dieng yang memang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Jadi dalam 2 jam itu kita sudah dapat menikmati keindahan alam di puncak, bukit Teletubbies dan panorama menakjubkan seluruh kawasan Dieng.
Sembari istirahat, narsis dulu 
Senja mulai menguning, dan kami belum sampai puncak
Kami sampai ke Puncak sekitar jam 6 sore dimana hari sudah gelap dan suhu udara semakin rendah. Aku yang hanya mengenakan satu kaos tipis dan satu jaket yang bukan anti dingin rasanya tidak tahan berlama-lama di luar tenda. Begitu tenda siap, aku segera masuk dan merogoh sleeping bag dari dalam tas. Aku hanya keluar sebentar untuk masak mie bersama anak-anak, selebihnya aku masuk tenda lagi karena tidak tahan dingin. Sumpah itu dingin banget, rasanya lebih dingin daripada Pasar Bubrah di Merapi. Walau sudah menggunakan sleeping bag pun, aku masih menggelutuk kedinginan sampai pagi. Entahlah apa jadinya aku kalau tidak membawa sleeping bag, hanya bermodalkan kaos dan sebuah jaket tipis. Aku juga merasa tertolong dengan tenda kami yang penuh sesak. Bayangkan tenda buat 5-6 orang diisi oleh kami ber-8 orang. Kesempitan itu membuat suhu udara dalam tenda sedikit lebih tinggi. Hehe.
Matahari terbenam di Barat Dieng

Besok paginya aku baru berani keluar tenda. Kami menyaksikan golden sunrise yang indah dari Bukit Teletubbies sambil (tentu saja) berfoto-foto narsis. sehabis itu, barulah kami memasak sarapan. Seperti biasa, kalau di gunung bahan makanan apapun yang tersedia pasti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ternyata anak-anak statistik juga melakukan hal yang sama. Semua makanan di goreng, termasuk juga roti tawar, mie instan dan bumbu-bumbunya. -_-
Glowing Sunrise
Selfie dengan tongsis (tripod -_-)
Semuanya di goreng, oseng oseng oseng... (nada Enno Lerian)
Nah, lagi asyik-asyiknya makan dan bercanda tawa, Priska, temanku datang entah dari mana dia...
"Barusan ada yang meninggal lho, disana" ujarnya sambil menunjuk bukit yang tak jauh dari kami, kira-kira hanya 200 meter. Disana memang ada kerumunan pendaki massal yang sedang bersih-bersih gunung dan camping ceria.
Anak-anak yang tadinya ketawa-ketawa nggak karuan tiba-tiba terdiam. "Inalillahiwainailaihi rajiun . siapa? Siapa? kok bisa?" berbagai pertanyaan pun menghampiri Prizka. 
Prizka juga dapat informasinya belum pasti sih. Untunglah kami mendapat informasi lebih lanjut dari mas-mas yang mendampingi pendakian kami. Yang meninggal itu adalah Aditya, mahasiswa USM Semarang. Ceritanya tiba-tiba saja ia ditemukan di dalam tenda sendirian dalam kondisi tak sadarkan diri. Setelah dilakukan berbagai pertolongan pertama, ia tidak bisa lagi diselamatkan. Diduga dia terkena hipotermia karena pagi itu dia hanya mengenakan kaos pendek tanpa jaket. Teman-temannya bilang dia juga pecandu rokok akut, jadi mungkin organ jantung atau paru-parunya memang sedang dalam keadaan tidak sehat.
Aku dan teman-teman miris mendengarnya. Tapi dalam hati aku bersyukur karena tuhan masih melindungi kami semua. Tadi malam saja aku yang tidur menggunakan SB masih menggigil kedinginan. Apalagi kalau... aghhh...
Aku pun sempat melihat jenazahnya digotong oleh tim SAR. Dua kali malah. Yang pertama saat masih di puncak. Yang kedua saat di bawah (masih di jalur pendakian, hampir sampai ke pemukiman) aku yang sedang duduk istirahat tiba-tiba disuruh minggir oleh bapak-bapak yang memegang HT. "Kasih jalan, kasih jalan," ujar mereka.
Owalah, ternyata masih tim SAR yang tadi, yang menggotong jenazah Aditya. Sepertinya mereka lama sampai ke bawah karena mengganti tandu di tengah perjalanan, soalnya tandu yang kami lihat di atas tadi berbeda dengan yang kami lihat barusan.
Demi tuhan aku shock terapy karena kejadian ini. Bayangkan, seumur-umur nggak pernah lihat jenazah di evakuasi dan sekalinya melihat malah pas mendaki gunung. Terlebih, menurut warga sekitar selama ini tidak ada pendaki yang meninggal di gunung Prau. Walaupun ada itu juga warga sekitar, bukan pendaki pendatang.
Dari kejadian ini aku dapat berkaca dan mengambil kesimpulan, bahwa jangan bermain-main dengan alam. Mendaki gunung itu boleh tapi jangan lupa tetap safety, jangan sampai terkena hipotermia karena tidak mengenakan gears standar seperti jaket dan sleeping bag. Jangan main-main dengan alam, karena alam jauh lebih kuat dari kita.
Kami pun kembali ke Semarang naik dengan perasaan lega sekaligus dongkol. Lega karena kami pulang dalam keadaan sehat walafiat, dan dongkol karena jalanan macet. Jalanan macet membuat kami kemalaman sampai ke Semarang.
#Nocturnal di Puncak Prau

Sebelum turun 

Panorama Dieng
Well, itu lah sepenggal cerita dari puncak ke-4 ku. Sedikit keistimewaannya, adalah aku mengajak novel ke-3 ku #Nocturnal berfoto disana. Sedikit promosi juga sih. Hehe. Oh iya, harapannya buku tentang Kepecintaalaman ini akan kuajak berfoto lagi secepat mungkin di puncak spektakuler lainnya, yaitu di Anak Krakatau dan Rinjani. Amiiiin....





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar