Kamis, 28 Maret 2013

Cerpen: Cobalah Mengerti, Sayang (1)


“Kalo gue putus sama dia gimana ya?” tanyaku pada Dina, sahabat yang selalu setia layaknya recycle bin setiap kali aku berkeluh kesal.
Dina melotot tak percaya. “Rin, elo sehat kan? Barusan ngelindur ya?” lalu ia datang dari tempat tidurnya ke meja belajar tempatku duduk bersandar, dan buru-buru meraba keningku.
“Nggak kok, Din. Gue sehat.” Ucapku datar.
“Terus kenapa elo ngomong kayak gitu?” tanyanya sekali lagi.
“Abisnya gue bingung dengan sikapnya sekarang. Cuek banget! Gue punya pacar tapi rasanya kayak ngejomblo. Gue rasa dia itu udah bosen sama gue, Din.”
Dina menggeleng-geleng sambil menatapku. “Cuek gimana sih? Ya elah, nyantai aja lagi, Irin sayang. Liat, gue yang nggak pernah diapelin sama cowok gue aja nyantai.”
“Ye, elo mah beda kasus lagi. Elo LDR, sedangkan gue sama dia tuh satu kota. Bahkan kita satu kelurahan, cuma beda RT, Din!”
Aku menghela napas panjang. Mencoba menahan emosi yang membuatku jadi galau sendiri tiap kali memikirkan dia.
Dia adalah Aryo, cowok yang sudah hampir dua tahun ini menjalin hubungan pacaran denganku. Dulu, rasanya dia sangat perhatian dan hampir selalu ada saat aku butuh. Dia juga tipe cowok yang berintegritas tinggi dan setia pada pasangan. Aku percaya penuh bahwa dia takkan pernah menyakitiku dengan menghadirkan wanita lain selain diriku.
Dia memang bukan tipe laki-laki yang suka menyimpan seikat bunga di balik badannya lalu memberikan bunga itu pada wanita yang disayanginya dengan senyuman semanis mungkin. Bukan pula laki-laki yang suka diam-diam menaruh boneka beruang di depan pintu kamar pacarnya, dengan selipan kertas bertuliskan “I Love U” di genggaman tangan boneka itu.
Dina sendiri pernah mendapat kejutan indah itu dari pacarnya yang bekerja di kota lain. Tanpa memberitahu Dina, pacarnya tiba-tiba saja muncul di kosan dengan membawa boneka panda sebesar badannya. Tentu saja sahabatku yang cantik ini berteriak kegirangan. Dan aku cuma bisa tersenyum kecut. Kapan aku dikasih yang kayak gituan?
Lain cerita, aku pernah beberapa kali memergoki teman-teman cowokku yang sibuk mengutak-atik hapenya tanpa henti. Ternyata mereka sedang SMS-an dan BBM-an ria dengan cewek mereka. Rata-rata nama kontak cewek itu disimpan dengan nama “bebeb”, “sayang”, “ndutku”, atau bahasa planet apalah, hanya mereka yang mengerti. Kadang aku iri, mereka kok bisa seromantis ini sama pacarnya. Tidak seperti Aryo, yang hanya menyimpan nomorku di hapenya dengan nama lengkap pemberian orangtuaku.
Aku juga sering iseng membaca timeline di jejaring sosial teman-temanku. Isinya tak jauh-jauh dari keromantisan hubungan mereka. Mereka saling berkomentar, berbalas-balasan tweet, dan mengaupload foto mereka berdua. Lagi-lagi aku aku iri, andai aku dan Aryo juga semesra itu.
Selain itu, teman-teman cowokku banyak yang memasang foto DP atau sekedar wallpaper di ponsel dengan foto pacarnya. Ada pula yang memasang foto mereka berdua dengan gandengan tangan yang mesra. Memang sih rata-rata pacar mereka semuanya cantik. Mereka pasti bangga punya pacar secantik itu. Jadi, kalau Aryo tidak pernah melakukan hal yang sama dengan teman-temanku itu apakah artinya aku tidak cukup cantik? Apakah Aryo malu mengakui aku sebagai pacarnya? Aku memang tidak terlalu cantik. Aku berbadan mungil dan berkulit putih. Tapi aku rasa aku juga tidak terlalu jelek.
Biasanya aku selalu menepis pikiran-pikiran buruk itu dengan kebaikannya yang lain. Aryo pernah sih, beberapa kali memperkenalkanku dan mengajakku pergi dengan teman-temannya. Toh dia tidak malu mengakuiku di depan mereka. Toh, dia juga sering memanggilku dengan sebutan sayang jika kami ngobrol secara langsung. Aku terus belajar untuk memahami karakteristiknya, dan belajar untuk menjadi seperti dia, meskipun terkadang masih berharap suatu saat ia akan bersikap lebih romantis padaku.
Sekarang hubungan kami telah menginjak tahun kedua. Sampai saat ini titik kegalauanku semakin memuncak karena sifat acuh tak acuhnya padaku semakin menjadi-jadi. Aku sudah mencoba untuk mengalihkan pikiranku ke hal yang lain, aku juga sudah mencoba untuk membalas keacuhannya dengan keacuhanku juga. Tapi aku masih saja kepikiran dengannya. Tepatnya, aku sangat merindukan dia yang dulu.
Sudah hampir dua minggu kami tidak bertemu. Aku bingung, kemana dia dan apa kerjanya sekarang. Dengan membuang rasa gengsi yang tinggi, aku mengajaknya pergi menemaniku membeli sesuatu di pusat perbelanjaan. Sebenarnya itu cuma alasan, untuk dapat bertemu dengannya. Aku menunggu dia sampai sore, apakah ia akan datang sesuai permintaanku, ataukah tidak. Ternyata tidak. Dia sedang rapat dengan rekan-rekannya, mengenai bisnis yang baru saja dirintisnya tahun kemarin. Tentu saja aku tidak akan memaksa.
Okelah tidak apa, tapi besoknya aku meminta ia menemaniku pergi ke pesta pernikahan seorang kakak tingkat. Lokasinya memang cukup jauh, sekitar dua jam dari kota tempat kami tinggal. Sedikit memelas, aku meminta ia menemani karena aku takut mengendarai motor sendirian. Tapi jawabannya lagi-lagi mengecewakanku. Katanya besok dia ada jadwal mengajukan proposal bisnisnya itu pada sebuah perusahaan. Dan waktu pengajuan proposal itu cuma besok karena temannya cuma ada waktu libur besok. Aku terdiam. Akhirnya aku mengendarai motor dengan jarak yang cukup jauh itu sendirian.
***
(bersambung)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar